TIM Relawan Irjen Fakhrizal Jajaki Minat Masyarakat Dalam pemilihan Gubernur Sumbar dari Jalur Independen

sebagai anak tentara, Fakhrizal kecil menghabiskan waktu selama 12 tahun di asrama Batalyon Infanteri (Yonif) 133, Air Tawar, Padang. Bapaknya, Sabri yang kini sudah berusia 80 tahun, merupakan anggota TNI AD dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu).

Sebagaimana ditulis Bhenz Maharajo, layaknya anak kolong-sebutan bagi anak polisi atau tentara- kebanyakan, Fakhrizal menjalani hari-harinya di asrama. Namun, hidup yang dijalaninya jauh dari kata mapan.

Terlahir sebagai anak tentara, masa kecil Fakhrizal memang beda dengan kebanyakan anak tentara lainnya. Dia lebih gandrung bermain sepakbola dibandingkan berkumpul tanpa melakukan kegiatan berfaedah. Jika tak main bola, dia tanding voli, atau memilih membaca Alquran saja di rumah. Jarang dia bauru-uru. Setiap hari baginya mesti memberi arti, baik pada keluarga, atau lingkungan.

Memiliki seorang bapak dengan pangkat rendah dan bergaji yang tak seberapa, membuat keluarga Fakhrizal hidup seadanya, jauh dari kata mapan.

“Hidup enak waktu itu hanya ada dalam bayangan, maklum, bapak hanya tentara dengan pangkat rendah. Gajinya kecil, kadang untuk makan saja sulit” ungkap Fakhrizal, mencoba kembali merawikan kisah hidupnya di masa-masa sulit, ketika bertemu dengan penulis di rumah pribadinya, kawasan Siteba, Kota Padang beberapa waktu lalu. Senyum jenderal bintang dua asal Agam itu lebar, dengan alis yang agak terangkat ketika meluncurkan kalimat.

Meski hidup melarat, sang bapak tak pernah membiarkan anaknya tak bersekolah. Segala hal diupayakan agar enam buah hatinya bisa menempuh pendidikan yang layak.

Kalau bapak mengajarkan Fakhrizal bagaimana cara hidup disiplin, bertanggungjawab dan tahu diri, ibunya bernama Asmi (76) menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti berbagi kepada sesama, dan tidak jumawa. Ajaran kedua orang tua lah yang membentuk karakter Fakhrizal.

“Di bahu saya terpikul masa depan keluarga, saya adalah pengharapan bapak dan ibu untuk mambangkik batang tarandam, menaikkan derajat keluarga dan menjaga kehormatannya,” papar Fakhrizal.

Sebab itu, dia bekerja keras mewujudkan impiannya. Waktu duduk di bangku SMA, Fakhrizal bermimpi bisa menjadi tentara, seperti bapaknya, namun takdir menuntunnya ke pengabdian yang lain. Selepas menuntut ilmu di SMA Negeri 2, Padang, Fakhrizal tes Akabri, dan dinyatakan bergabung dengan korps kepolisian, bukan tentara seperti bapaknya.

“Lokasi pendaftaran waktu itu di markas Amandam, yang ada di Muaro Padang. Lewat pendaftaran itulah petualangan saya sebagai polisi dimulai,” ungkap ayah empat anak tersebut.

Tuhan ternyata membukakan pintu lebar pada Fakhrizal untuk menjadi pambangkik batang tarandam keluarganya. Hanya sekali tes, dia lulus Akabri dan menempuh pendidikan kepolisian.

Lepas pendidikan pada tahun 1986, dia ditempatkan di Polda Metro Jaya, persisnya sebagai Wapamapta Res Metro Jaksel, Polda Metro Jaya. Di awal-awal berdinas, Fakhrial berputar-putar di Polda Metro jaya saja.

Hingga tahun 1990, terhitung dia pernah memikul empat jabatan, Selain Wapamapta, dia juga pernah menjadi Paur Minik Serse Res Jaksel, Kanit Resintel Metro Pasar Minggu dan Kanit Res Intel Metro Kebayoran Baru Polda Metro Jaya. Petualangan Fakhrizal sebagai polisi dimulai dari jantung Indonesia.

Karir Fakhrizal di kepolisian termasuk mentereng. Jalannya dimudahkan Tuhan. Sebelum menjabat Kapolda Sumbar, dia memimpin Polda Kalimantan Tengah.

Selama menjadi pemimpin di kepolisisian Fakhrizal dikenal tak berjarak dengan bawahannya. Dia juga memimpin dengan hati, dan jauh dari gaya tangan besi. Dia menempatkan diri sebagai bapak, dan menjadi pelindung bagi jajaran. Komunikasinya terbuka, bahkan kepada anggota dengan pangkat terbawah sekalipun.

“Pemimpin adalah muara segala masalah, dan hulu bahagia bagi orang-orang yang dipimpinnya. Saya tak ingin dikenal sebagai pemimpin yang bertangan besi, tapi diingat sebagai seorang bapak, seorang ayah, yang menaungi dan melindungi,” papar Fakhrizal.

Ucapan Fakhrizal tak sekadar di mulut saja. Itu dibuktikannya bahwa Dia merupakan pemimpin yang selalu diharapkan hadir. Kedatangannya selalu dinantikan dan kepergiannya ditangisi.

“Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya dijalankan seorang pemimpin. Tidak zamannya lagi pemimpin bersikap otoriter, anti kritik atau bertangan besi.

Saat ini, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang humanis, tidak membedakan bawahan, atau mengelompokkan diri, serta asyik saja dengan kelompok yang dibuatnya. Sebagai pemimpin, saya pelindung bagi seluruh masyarakat,” papar Fakhrizal.

Seperti tulisan Insannul Kamil, Irjen Fakhrizal menjalankan tugas profesi kepolisian, keluarga dan kemasyarakatan yang sangat bersahaja dan penuh empati yang menunjung tinggi prinsip – prinsip agama dan adat istiadat.

Fakhrizal tidak pernah menampilkan dirinya sebagai seorang Jenderal Polisi dan dalam kapasitas Kapolda yang harus ditakuti orang lain, sebaliknya karakter bersahaja dan penuh empati yang telah menjadi identitas dirinya, membuat semua lapisan masyarakat sangat menghormati dan menghargainya.

Lain halnya dengan persoalan yang menyangkut pelanggaran hukum, Fakhrizal akan menindaknya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Ia tidak tebang pilih dalam hal ini dan menjadikannya menjadi pemimpin yang sangat disegani di Sumatera Barat saat. Ia memberi contoh tauladan kehidupan beradat sesuai dengan ajaran adat budaya Minangkabau.

Irjend Pol Fakhrizal memang sosok yang berkarakter Minangkabau sejati, humanis-egaliterian. Oleh karena itu, predikat yang pantas untuk beliau adalah; Polisi niniak mamak. Dia Kapolda yang selalu menerapkan nilai-nilai agama dan adat dalam rutinitas kesehariannya.

Irjend Fahrizal adalah sosok sederhana, anti terhadap korupsi, dia tidak segan segan untuk mengambil tindakan terhadap pelanggar aturan, beliau anti KKN, memiliki visi yang maju, dia menginginkan masyarakat sumbar yang maju serta kemampuan ekonomi tangguh. selain itu dia juga adalah penegak hukum yang adil bagi setiap orang.

“Masyarakat Sumbar sangat antusias untuk memiliki pemimpin seperti beliau. selain berpengalaman Nasional Fahrizal juga seorang yang idealis, Dia adalah seorang yang taat beragama dan sangat peduli terhadap orang yang sedang kesulitan”, jelas Wati

Dia mengerti dan memahami pekerjaannya, dia mengerti bagaimana menjadi polisi di wilayah sumatera barat, karena dia berasal dari Minangkabu, bukan hanya sekedar menjalankan tugas-tugas sebagai polisi, tapi juga menjadi manusia yang bisa menghargai dan memanusiakan manusia yang lain.

Dukungan datang dari berbagai pihak yang menginginkan Sumbar lebih maju dan berkarakter Minangkabau untuk dapat babaliak ka Nagari, tidak ada jalan lain, Fahrizal adalahsatu satunya pilihan masyarakat Sumbar. yang jelas fahrizallah yang paling sedikit melakukan pelanggaran, “saya berani bertaruh tidak ada yang lebih bersih dari Fahrizal, kita akan buktikan nanti “, ungkap Indrawan Ketua LSM KOAD.

Jika kita lihat rekam jejak, maka masyarakat tentu akan memjatuhkan pilihan kepada sosok yang Anti korupsi tersebut, Independen berarti bebas dari tekanan dan kepentingan, Sumbar hanya akan terbebas dari kemiskinan jika memiliki Gubernur yang terlepas dari kepentingan yang merugikan rakyat. melihat antusias masyarakat dalam memilih cagub Sumbar sepertinya jalur Independen dapat mengantar sang calon menjadi Sumbar satu. kami sebagai Relawan sudah menjajaki perbulan November ini sudah melebihi persyaratan minimal yang ditetapkan KPU.(Red)

(berita ini sebagian dikutip dari cmczone.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *