Politik Santun Dan Fastabiqul Khairat

Oleh : Andi Fery  (Alumni The Flinders University of South Australia)

Akhir-akhir ini cara perpolitikan di negara kita hampir sampai pada titik nadir. Politik pecah belah dapat dengan mudah kita temui di mana-mana dari obrolan warung kopi sederhana, media sosial sampai dengan diskusi para politikus kelas nasional. Di media sosial misalnya, sering kali kita baca tulisan-tulisan yang sering membuat masyarakat kita menjadi dikotomi dan terbelah karena kepentingan-kepentingan kelompok atau partai tertentu.

Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya kejadian saling melaporkan ke aparat penegak hukum, karena adanya status-status yang sering mengandung ujaran kebencian (hate speech), yang mana ujuran-ujaran tersebut sengaja disebar untuk memancing permusuhan di tengah kelompok tertentu.

Padahal seharusnya sebagai masyarakat yang bersaudara dan berbudaya, sudah sepantasnya kita membangun solidaritas sosial di antara sesama umat Islam maupun warga sebangsa yang walaupun berbeda agama sekalipun.

Karena itulah para pemimpin bangsa yang notabenenya kebanyakan berasal dari partai politik tertentu, hendaknya lebih mengedepankan cara-cara berpolitik yang baik dan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Sebab bagaimana pun juga, di dalam ajaran agama mana pun tidak akan ada yang mengajarkan pada keburukan dan menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan.

Di dalam ajaran agama Islam misalnya, berpolitik secara santun wajib hukumnya. Hal ini dikarenakan titik singung antara ajaran politik dan nilai-nilai agama sangatlah erat dan harus saling melengkapi (closely correlated). Dengan demikian keduanya haruslah dipahami bahwa politik dan ajaran Islam harus digunakan sebagai instrumen dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh (politik kaffah).

Oleh karena itu, syarat menerapkan politik santun ini pemimpin yang memahami makna dari politik dan sekaligus memahami ajaran Islam. Sehingga tidak merebut kekuasaan dengan cara-cara yang tidak terpuji, semisal dengan cara mengumbar aib lawan demi mencapai tujuan, karena hal itu haram dalam politik santun yang berazaskan ajaran agama samawi manapun tidak hanya dalam ajaran agama Islam.

Kepemimpinan yang dilandasi nilai-nilai agama yang diamalkan secara benar, maka pemimpinnya akan selalu berada dijalan yang lurus dan bukannya malah membabi buta demi keuntungan pribadi dan golongan, serta menjelek-jelekan pihak tertentu.

Hal ini ditegaskan di dalam kita suci Al-Qur’an, bahwa Allah SWT berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al Hujurat [49]: 12). Sehingga jelaslah bahwa didalam Islam harus meraih kekuasaan dengan cara-cara yang santun dan baik.

Tetapi sayangnya, dewasa ini perpolitikan di negara kita sering mengabaikan nilai-nilai tersebut. Malah yang seringkali terjadi adalah agama hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata, setelah itu agama seringkali dikesampingkan atau bahkan ditinggalkan sama sekali.

Saat mencalonkan diri sebagai pemimpin banyak orang berpakain dengan atribut yang sangat agamis bahkan mengalahkan Ustadz sekalipun, perbuatan pun akan dicitrakan sangat baik dan tanpa cela, demikian ulas Ustadz Das’ad Latif dalam suatu ceramahnya.

Disisi lain, mereka tidak segan-segan memperalat agama untuk mencapai tujauannnya dan bukan menolong untuk menegakkan agama Allah dengan kekuasaannya. Politik hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan semata, maka dengan demikian, sering mengesampingkan kontribusi Islam terhadap cara mereka berpolitik.

Para politikus dan Penguasa seringkali melupakan bahwa agama dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Di sinilah pentingnya pemimpin yang benar-benar mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari dan bukan hanya agamis dadakan yang tertera di baliho-baliho saat akan ada Pemilu atau PILKADA saja.

Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu berlomba-lomba berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) seperti halnya menyejahterakan rakyat, jujur dan ikhlas dalam melayani semua lapisan masyarakat dan bukan hanya untuk segelintir orang yang ada di sekitar mereka saja yang istilah populernya adalah “orang dalam” atau ring 1, ring 2 dan seterusnya.

Pemimpin yang amanah akan membangun infrastuktur sesuai specnya, sehingga kuat dan kokoh. Selanjutnya membesarkan lembaga-lembaga pendidikan, seperti halnya sekolah dan pesantren yang berada dilingkup kekuasaannya dan bukan banyak membangun, tapi malah untuk dijadikan proyek korupsi.

Yang lebih miris lagi kita sering mendengar yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadah pun tak luput dari korupsi. Padahal seharusnya dengan kekuasaanlah tempat-tempat ibadah dan fasilitas umat beragama, dibangun dengan baik karena itu merupakan ladang amal dunia maupun diakherat kelak.

Karena itulah hubungan antara agama dan politik secara umum dapat dilihat dan diamati dari kedudukan dan perannya dalam kehidupan masyarakat, jauh sebelum dia meraih kekuasaan. Sehingga tidak bersifat pribadi karbitan yang digunakan hanya untuk pencitraan.

Menurut Wat,t sebagaimana ditulis oleh Rabiani, dalam artikelnya yang dimuat di Kompasiana (23 Januari 2000) dengan judul Hubungan antara Islam dan Politik disebutkan bahwa agama mempunyai kedudukan sentral dalam kehidupan seseorang, karena agama memberikan tujuan umum kehidupan dan membantu memusatkan energinya dalam usaha menempuh tujuan-tujuan yang baik demi kemaslahatan masyarakat.

Pada dasarnya semua perbuatan baik dalam politik sebenarnya merupakan ibadah. Bekerja semata-mata karena Allah merupakan kuncinya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).”

Karena itu berpolitik santun kepada seluaruh masyarakat adalah suatu keharusan dan bukan hanya sekedar pencitraan belaka. Dengan demikian bukan berpura-pura berbuat baik kepada masyarakat untuk menaikan elektabilitasnya, dengan cara memberikan sesuatu imbalan kepada masyarakat dengan dalih sumbangan, bantuan, peduli terhadap yang terkena musibah dan tentu banyak model lainnya. Itu tentu baik, tapi kalau niatnya untuk terpilih meraih kekuasaan dan lalu setelah itu masyarakat tidak dihiraukan lagi, maka itulah yang menjadikannya tidak baik.

Jadi tidaklah salah kalau perbuatan tersebut justru membuat pandangan masyarakat terhadap politik jadi negatif, penuh kebusukan dan licik. Padahal berpolitik itu bila tidak keluar dari koridor-koridor ajaran agama, maka ini akan menjadi perbuatan mulia. Karena itulah, Fastabiqul khairat sangat dianjurkan dalam segi apapun tak terkecuali dalam mengurus Bangsa dan Negara.

Mencari pemimpin yang memahami aturan politik santun dan sesuai dengan ajaran agama, serta ditunjang dengan kemampuan memahami aturan birokarasi ketatanegaraan yang mempuni bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan bisa dikatakan bagaikan mencari jarum dalam jerami.

Meski demikian, hal itu bukanlah suatu hal yang tak mungkin, semua akan kembali kepada mindset kita sebagai masyarakat dalam menentukan pemimpin kita ke depan. Akankah kita jual suara kita dengan harga yang murah? Dengan hanya beberapa lembar uang dan atau bantuan sepaket sembako. Atau akankah kita memlilih pemimpin yang mampu memimpin kita dunia akherat dan memiliki komitmen untuk pemenuhan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan nilai-nilai agama? Nurani kitalah yang dapat menilai dan menjawabnya. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *