Birokrasi Ala Preman

Catatan Berkesan :  Andi Fery (Alumni The Flinders University of South Australia)

Suatu waktu, penulis pernah mengurus surat menyurat di lembaga pemerintahan tertentu. Ketika akan memulainya, upaya pertama yang harus dilakukan adalah meminta tanda tangani seorang pejabat bersangkutan. Karena itu, penulis pun menemui pejabat setingkat di bawahnya untuk mendapatkan persetujuan. Setelah beberapa menit bicara serta mengetahui maksud penulis, Sang Pejabat itu berkata, ”Saya menolak untuk membubuhkan paraf saya di surat anda untuk ditanda tangani lebih lanjut,” kata ia disertai wajah sinisnya.

Pelayanan yang kurang mengenakan itu membuat penulis memberanikan diri untuk bertanya, apa dasar kuat yang menyebabkan pejabat tersebut tidak menyetujuinya. Anehnya, tanpa memberikan alasan atau memberitahukan kesalahan yang telah diperbuat, dia justru malah menjawab, “Tidak bisa saja karna saya tidak mau, dan tanpa paraf saya surat Anda tidak akan dapat ditanda tangani.”

Mendapati jawaban ala preman begitu, penulis mohon diri, karena tidak akan ada solusi yang didapati apalagi pelayanan terbaik.

Beberapa jam setelah kejadian di kantor pemerintahan ( birokrasi ) tersebut, penulis pun bertemu dan mencoba berdiskusi dengan beberapa teman yang di antaranya ada juga nan bekerja di Kantor Pemerintahan. Salah seorang dari mereka menyarankan penulis agar mencari  “orang dalam” supaya urusan tersebut kelar dengan cepat dan efisien. Menurutnya tanpa “orang dalam” dirasa mengurus apa pun terkait surat menyurat kita akan menemui kesulitan dan akan dipimpong kesana kemari.

Mengingat saran sang teman tersebut, penulis pun berpikir dan melakukan “deep analysis” sekaligus bertanya terhadap diri sendiri, bahwa apakah Birokrasi hanya dibuat untuk yang punya orang dalam? Atau birokrasi dibuat untuk melayani semua orang tanpa pandang bulu.

Kalau memang Birokrasi ini adalah untuk memberikan pelayanan kepada semua lapisan masyarakat, lalu kenapa ada istilah orang dalam dan artinya juga saat itu penulis di posisikan sebagai orang luar, karena diperlakukan tidak baik dengan adanya tindakan yang tidak bersahabat ala preman tersebut.

Padahal menurut Michael G. Roskin, dkk dalam bukunya yang berjudul Political Science, mereka mendefenisikan, bahwa birokrasi merupakan setiap organisasi yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, yang fungsi utamanya adalah untuk meng-interpretasikan berbagai kebijakan yang diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers).

Di samping itu idealnya Birokrasi adalah struktur yang memang dirancang sedemikian rupa, guna memungkinkan adanya pelaksanaan pelayanan publik (Civil Service) yang efektif dan efisien, serta dapat dipertanggung jawabkan dunia akhirat.

Dari defenisi ini jelas  bahwa pejabat yang diangkat haruslah melaksanakan fungsinya sebagai pelayan publik dan tidak hanya untuk golongan tertentu, atau orang dekat saja.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Birokarasi hendaknya menjadi sarana seseorang untuk mendapatkan kemudahan dalam bentuk pelayanan publik. Tentu saja dengan tetap memenuhi aturan-aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Karena itulah apabila syaratnya sudah terpenuhi, maka tidak ada wewenang pejabat birokrasi untuk tidak memberikan pelayanan, sehingga tidak ada kesan bahwa pelayanan birokrasi itu “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah dan kalau bisa diperlambat kenapa harus dipercepat”. Tetapi sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat tidak ada kata untuk diloloskan sekali pun itu permintaan orang dalam. Sehingga dengan demikian, birokrasi tidak men-dzalimin pihak tertentu dan bertindak se-enaknya ala preman.

Sebenarnya organisasi preman Columbia sekali pun masih punya aturan yang tidak boleh dilanggar oleh para anggotanya. Apalah lagi kalau sebuah lembaga organisasi birokarasi

Oleh karena itu, agar pelayan publik dapat berjalan dengan baik, maka semua pimpinan lembaga birokrasi dari level tertinggi sampai terendah, haruslah menjalankan apa yang disebut dengan istilah servant leader (pemimpin yang melayani bukan yang minta dilayani). Semboyan ini sering kali kita dengar memang,  tapi sayangnya hanya kerap dijadikan jargon saat akan ada Pemilu atau Pilkada saja.

Sungguh ironis memang. Padahal servant leader merupakan teori kepemimpinan yang sudah dicetuskan beberapa dekade lamanya, setidaknya secara ilmiah sudah ada lebih dari 42 tahun yang lalu, yakni dengan adanya buku yang ditulis oleh Robert K. Greenleaf,  dengan judul SERVANT LEADERSHIP – A JOURNEY INTO THE NATURE OF LEGITIMATE POWER AND GREATNESS, New York: Paulist Press, 1977).

Konsep kepemimpinan itu tentunya mempunyai tujuan yang luhur dan telah dipraktekan dibanyak negara maju diberbagai belahan dunia.

Negara maju akan lebih mengutamakan hasil kerja yang dapat dinikmati masyarakanya, ketimbang menonjolkan siapa yang mengerjakannya.

Karena itu hampir semua pelayanan dilakukan by sistem. Salah satu tujuannya adalah mempermudah pelayanan dan menghemat waktu, serta sumber daya yang ada.

Sebagai contoh di Australia, surat-menyurat resmi kenegaraan mereka saja tidak ada yang pakai stempel dan apa lagi nomor surat,  cukup hanya dengan tanda tangan secara elektronik sehingga cukup dikirim elektronik juga via e-mail. Dengan demikian keterlambatan pengiriman bisa dikatakan tidak pernah terjadi.

Namun di birokrasi kita, sering terjadi bahwa surat sampai ditujuan beberapa saat akan dimulai, atau bahkan setelah acara selesai.

Para pejabat dan pemimpin di sana benar-benar membantu masyarakatnya, dengan syarat tidak keluar dari aturan-aturan yang berlaku. Tapi kalau tidak sesuai dengan syarat yang ada, malahan kita yang akan kena denda dengan jumlah yang cukup fantastis.

Sebagai perbandingan misalnya, masyarakat disana akan dilayani untuk diambil sampahnya sampai kerumah-rumah berdasarkan jadwal yang telah ditentukan dengan menggunakan “dual control truck”, artinya dengan satu orang sopir mereka sudah dapat melayani hampir satu wilayah kecamatan dalam rentang satu hari saja, karena semuanya diangkat menggunakan robot, tapi kalau kita salah dalam meletakan sampah pada tong yang seharusnya, membuang pecahan kaca tidak pada tempat yang benar, maka kita akan didenda hingga mencapai 5 jutaan dan kalau sudah dapat surat denda tersebut maka harus di bayar dan tidak bisa meminta pertolongan kepada “orang dalam”.

Lain lagi di segi infrastruktur jalan, tidak akan pernah kita temui lobang karena sekali berlobang, mereka langsung akan melakukan pengaspalan secepat kilat tanpa harus menunggu anggaran ketuk palu yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Yang lebih parah lagi di negara kita malah jalannya dilobangi di sana-sini dan dibiarkan beberapa lama tanpa ada perbaikan.

Karena itulah pakar kepemimpinan Ken Blanchard menekankan bahwa servant leader, adalah pemimpin yang berani berkorban dan menyinsingkan lengan baju demi melayani serta melakukan apa saja yang merupakan perbuatan yang baik untuk menolong masyarkat agar mendapatkan kemudahan, yang diistilah kan oleh Blanchard dengan jargon  “Pemimpin harus bekerja untuk Masyarakat, dan bukan justru sebaliknya. Demikian tulis Indrapradja dalam artikel yang berjudul Pemimpin yang Melayani (Servant Leader) yang dimuat dalam Kompasiana.com (23 Maret 2014).

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi pejabat birokrasi itu tidaklah mudah, karena harus merubah mindset yang selama ini sudah tertanam sejak lama bahkan sejak zaman kolonial.

Tapi servant leader masih jauh dari penerapan yang ideal untuk di negara kita. Sebagai contoh kecil saja, masih seringnya kita temui banyaknya kendaraan pejabat-pejabat tertentu yang walaupun itu bukan plat merah, tapi malah ditempeli simbol-simbol tertentu di plat kendaraannya yang melambangkan bahwa mobil itu milik kalangan pejabat elit tertentu.

Bila dikaitkan dengan defenisi pemimpin melayani di atas, pemakain simbol itu relevansinya apa? Minta priotas? Atau agar masyarakat takutkah?.

Selama kuliah disalah satu Negara Maju, penulis tidak pernah melihat kendaaraan pejabat Eksekutif Kampus, misalnya yang platnya menunjukan status yang berbeda dengan mahasiswa dari perkampungan sekali pun. Yang lebih hebat lagi, tempat parkirnya pun tidak dikasih merek khusus semisal “pejabat 1, pejabat 2 dan seterusnya inilah mungkin yang mereka sebut dengan pengamalan equality before law; semua sama di mata hukum. Jadi kita tidak tahu pejabatnya yang mana, tetapi mereka hadir saat diperlukan saja.

Namun di negara kita malah terjadi kebalikan, kendaraan yang seharusnya digunakan untuk melayani rakyat, sering digunakan untuk gagah-gagahan, dengan memberinya simbol-simbol tertentu dan tak jarang juga malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan atau golongan, dengan mengganti platnya yang merah jadi plat hitam atau sebaliknya, tergantung kepentingn. Inilah yang disebut licik dan culas itu, demikian ulas Ustadz DR. Dasa’ad Latif, Ph.D sang Da’i yang juga dosen Ilmu politik Universitas Hasannudin, Makasar dalam suatu ceramahnya.

Pemimpin melayani, di negara kita memang sangat indah untuk didengar, namun masih sering digunakan sebagai pencitraan belaka yang pada tatanan prakteknya masih sangat jauh.

Kalau kita perhatikan para pemimpin sekarang masih banyak yang minta dilayani daripada melayani, apalagi kalau mereka merasa ditentang atau diprotes, maka ego kepemimpinan negatifnya akan muncul.

Pemimpin masih banyak yang alergi untuk ditentang atau dikonfrontasi. Maka munculah istilah “jangan pernah menentang matahari” (Irawanto, Ramsey, dan Tweed, 2012)

Bahkan yang lebih parah lagi, sering kita saksikan para pemimpin yang notabenenya adalah para pejabat berlomba-lomba untuk menonjolkan diri, bahwa merekalah yang berbuat.

Hampir semua pemimpin menganggap dia lah yang berpengaruh, sehingga yang terjadi adalah pemimpin dan wakilnya pecah atau tak sejalan, karena sama-sama sering menepuk dada.

Ironisnya lagi, antara eksekutif dan legislatif tidak jarang terjadi tarik ulur dan merasa sama-sama berkuasa. Lalu kalau sudah begini bisakah kita sebut sebagai pemimpin yang melayani? Atau malah berbuat brutal ala PREMAN?.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *