Membuang Diri Sepanjang Adat

Agama Islam (Syara’) menegaskan bahwa perkawinan dapat dilaksanakan dengan ketentuan yang sudah diatur dalam bab pernikahan. Ada larangan menikah karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, hubungan persusuan. (Mahram selamanya) Dan ada juga karena larangan sementara seperti beda agama sampai masuk islam, menikahi 2 orang bersaudara bersamaan dan lain lain.

Dalam Minangkabau, adat kemudian menjelaskan secara lebih mendalam bahwa saudara perempuan yang badunsanak (sepersukuan) dengan laki-laki tidak boleh menikah. Karena dalam adat sudah diatur tentang tatacara pergaulan sehari-hari. Ada urang sumando, ipa, bisan,mamak, bapak, mak rumah, adiak, kakak yang kesemuanya punya tatacara dalam bergaul dan berkomunikasi.

Ada Kata mandaki untuk yang lebih tua. Ada Kata mandata untuk sebaya. Ada kata manurun untuk yang lebih muda. Ada kata malereang untuk sumando, mak rumah, ipar, bisan. (Kato nan ampek)

Dalam tatacara duduk dalam permufakatan. Posisi duduk sumando, Bapak, dekat pintu kamarnya. Posisi mak rumah didekat pintu masuk. Posisi Ninik mamak dipuncak (paling depan). Posisi kamanakan disamping mamak. Disusun bak siriah babarih bak pinang.

Dalam memikul tanggung jawab juga ada tatacaranya.mamak badagiang taba, Kamanakan jo pisau tajam. Kamanakan dipintu hutang, mamak di pintu bayia.Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka nan bana, nan bana tagak sandirinyo.

Adat adalah kesepakatan bersama yang sudah dilaksanakan semenjak dahulu secara turun temurun yang dijaga dan dilaksanakan sehari-hari dibawah pengawasan pemangku adat yaitu malin, dubalang, manti dan pangulu.(Urang 4 jinih).

Ketika seseorang menikahi dunsanak perempuan dikaumnya maka akan terjadi kekacauan dalam tatanan adat dan tatacara pergaulan diminangkabau. Posisi dan peran yang akan dijalankannya tidak dapat dijelaskan secara jelas. Apakah akan bersikap sebagai mak rumah sementara sekarang dia rang sumando, begitu sebaliknya. Apakah akan bersikap sebagai mamak, sementara posisinya sekarang sebagai bapak.

Dalam berkomunikasi akan terjadi kebuntuan. Cara berkomunikasi apakah akan berprilaku sebagai mak rumah, rang sumando atau minantu.

Kemudian dalam memikul tanggung jawab apakah ini akan menjadi tanggung jawab penuh kepala kaum atau rang sumando sebagai abu diateh tunggua.

Ketika pilihan menikahi dunsanak di pasukuannya, maka secara tegas diartikan sebagai pilihan untuk tidak ikut melaksanakan adat dalam tatanan kehidupan sehari adalah nyata. juga dapat diartikan sebagai pilihan dalam menata kehidupan secara egois.

Dalam syara’ perkawinan itu sudah diatur dalam bab munakahat. Jadi perkawinan yang dilakukan tetap akan bisa dilaksanakan oleh yang bersangkutan dan sah sepanjang sesuai dengan kaidah agama. Namun dalam pergaulan kehidupan di Minangkabau dengan tatanan adat yang sudah disepakati bersama tidak bisa berjalan dan menemui kekacauan/kebuntuan.

Pilihan itu berarti menegaskan dirinya sebagai orang yang Kok sakik ndak butuh disilau, kok mati ndak butuh dijanguak, kok tabanam ndak butuh disalami, kok hanyuik ndak butuh dipinteh, kaba buruak ndak paralu bahambauan, kaba elok ndak paralu di himbauan, kok kahilia ndak sarangkuah dayuang, kok ka mudiak ndak sarantak galah.(menarik diri dari pergaulan/membuang diri sepanjang adat).

Pemangku adat hanya tinggal mengetok palu bahwa si anu membuang dirinya sepanjang adat. Dan tidak perlu membebani diri dengan membatalkan ketentuan sara’ tentang perkawinannya.

Ditulis Oleh Masnaidi. B, S. Kom, M.A.P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *