Kisah Orang Rantai, Jadi Latar Belakang Sebuah Novel.

Sawahlunto-Novel Penganten Van Der Capellen sebuah karya sastra secara tak langsung telah ikut memberi warna dalam membantu Promosi Wisata Sejarah Kota Tua Sawahlunto

Perjalanan kehidupan orang rantai di kota tambang Sawahlunto pada masa pertambangan batu bara oleh kolonial Belanda, menjadi latar belakang dari sebuah cerita yang dikemas dalam bentuk novel, Penganten Fort Van Der Capellen yang ditulis oleh Abdul Muttaqin dan diterbitkan oleh Pustaka MP.

Novel Penganten Fort Van Der Capellen ini telah dilaunching pada Rabu lalu, (28/4) di Jakarta, dan dihadiri langsung oleh Walikota Sawahlunto, Deri Asta SH.

Walikota Sawahlunto Deri Asta dalam sambutannya mengatakan bahwa, “cerita yang disajikan oleh Abdul Muttaqin dalam novelnya ini adalah sebuah cerita mahal. Karena bersumber dari sebuah fakta sejarah. Meski kemudian dalam teknis penceritaannya dibalut menjadi sebuah karya fiksi tetapi tidak menghilangkan aura sejarah yang menjadi tulang punggung dari kisah dalam novel ini,” ungkap Wako Deri Asta.

Lebih lanjut diungkapkan, “kita sangat apresiasi kepada penulis novel ini, yang telah membawa kita kembali pada abad 18 saat cerita tersebut berlangsung. Terimakasih telah mengemas kembali sejarah pertambangan batubara Sawahlunto di masa kolonial Belanda, ke dalam sebuah cerita novel yang baik dan menarik untuk dibaca,” urai Walikota Deri Asta menambahkan.

Kita akui, dengan adanya karya berupa novel yang mengangkat sejarah pertambangan batubara Sawahlunto, secara tak langsung telah ikut menambah media untuk promosi bagi pariwisata Kota Sawahlunto.

“Sawahlunto saat ini telah berpredikat dari Unesco sebagai World Heritage atau Kota Warisan Dunia. Hal ini berkaitan erat dengan sejarah pertambangan batubara dan sebuah momentum yang diceritakan dalam novel Penganten Fort Van Der Capellen. Kita sangat yakin, novel ini bisa menjadi pemicu bagi pembacanya untuk menjadi wisatawan guna berkunjung ke Sawahlunto,” urai Walikota Deri Asta.

Sementara penulis novel, Abdul Muttaqin mengatakan bahwa novel ini bercerita tentang Bujang (Sabeni), anak Betawi yang tanpa urusan telah ditangkap Belanda. Bujang diidentifikasi Belanda sebagai simpatisan Si Pitung (1870-1893), meski dia tidak pernah bertemu jagoan Betawi yang kesohor itu. Setelah terbunuhnya Si Pitung pada 1893, Belanda memang getol memberangus para simpatisannya yang tersebar di seantero Batavia.

Alkisah di tahun 1896, sebagai tawanan, Bujang kemudian dibawa ke atas kapal yang ternyata bergerak menuju tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, yang ditemukan pada 1860-an. Dengan terpaksa dan tanpa khabar, Bujang meninggalkan istri yang sedang mengandung anak pertama mereka di Batavia, untuk menjadi pekerja paksa atau budak rantai di tambang Ombilin Sawahlunto.

Sesampainya di Sawahlunto, dengan kemahiran bela dirinya, Bujang berhasil lolos dari pejagaan polisi Belanda. Ia sempat satu tahun menjadi manusia bebas, sebelum akhirnya tertangkap dan harus menjalani masa hukuman selama 16 tahun, di tambang Ombilin. Petualangan Bujang di Sawahlunto, termasuk percintaannya dengan dua perempuan cantk, Athirah dan Erita, menjadi napas utama novel ini.

Di samping kejadian demi kejadian di tanah kelahirannya, Batavia. Ketika istri dan anak Bujang yang menunggu tanpa kepastian, menghadapi persoalan kehidupan yang tak kalah pelik. Tak mudah hidup tanpa suami atau bapak
pada zaman kolonial tersebut.

Lebih jauh penulis novel ini mengatakan, “butuh waktu sekitar 2 tahun bagi saya untuk menyelesaikan cerita novel ini,” pungkas Abdul Mutaqin mengakhiri. (Fdm)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *