Forum Dekan Fakultas Hukum UM Se-Indonesia Menolak Masa Jabatan Presiden 3 Periode

Bukittinggi, Kabar Daerah – Gagasan untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), dinilai tidak relevan dalam konstitusi dengan struktur ketetanegaraan Indonesia.

 

Untuk itu, Forum Dekan Fakultas Hukum (FH) dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonsia, menolak gagasan menghidupkan GBHN (PPHN) dalam UUD NRI 1945 dan amandemen terbatas (ke-5) UUD 1945.

 

Penolakan tersebut, dikemukakan Ketua Forum Dekan FH dan Ketua STIH Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia,

Dr. Tongat, SH, MH., di hadapan para Dekan FH dan Ketua STIH Perguruan Muhammadiyah se-Indonesia, di Aula Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Sumatera Barat, Bukittinggi, Kamis (20/1/22).

 

Disebutkan, sistem pemerintahan Presidensial dan mekanisme pertanggungjawaban pemerintah saat ini yang merupakan hasil dari reformasi dan amandemen konstitusi. “Perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode, yang jelas-jelas mengkhianati amanah reformasi,” kata

Dr. Tongat.

 

Penolakan terhadap gagasan menghidupkan kembali GBHN/PPHN dan Amandemen

terbatas UUD 1945 pada Agustus 2021.

“Ketua MPR melontarkan gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dengan istilah baru PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) pada saat sidang tahunan MPR, melalui mekanisme amandemen terbatas UUD

1945,”ujarnya.

 

Keberadaan PPHN ke depan, dimaksudkan sebagai panduan bagi arah dan strategi pembangunan nasional serta menjadi semacam haluan negara yang berdimensi lebih luas dan akan memuat kebijakan strategis yang menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah.

Dikatakan, isu amandemen terbatas tersebut terus digulirkan oleh MPR dan telah dilakukan kajian di berbagai tempat. “Kami memandang bahwa isu ini cukup krusial untuk direspon oleh Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH PTMA se-Indonesia.

 

Dengan pertimbangan, amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 telah mengubah struktur ketatanegaraan Indonesia, antara lain mengubah kedudukan MPR yang semula sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara yang kedudukannya sederajat dengan lembaga negara

lainnya (DPR, DPD, Presiden, MK, MA, BPK).

 

Hal ini membawa konsekuensi bahwa

pelaksana kedaulatan rakyat tidak lagi menjadi monopoli MPR (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945) tetapi terdistribusi ke berbagai lembaga negara. Pola hubungan antar lembaga negara tidak lagi bersifat hierarkhis vertical tetapi horizontal fungsional sesuai

kewenangan masing-masing sebagaimana tercantum dalam konstitusi.

 

Kemudian, amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 telah menghapus kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, karena haluan negara tidak lagi diperlukan, sebab kedudukan Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR yang berkewajiban memberikan pertanggungjawaban kepada MPR.

Salah satu kesepakatan dasar pada Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, adalah penguatan terhadap Sistem Pemerintahan Presidensial, sehingga Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu dan masa jabatan Presiden fix term selama 5 tahun dan dipilih kembali hanya untuk 1 kali periode.

Berikut, amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional.

 

Fungsi GBHN telah digantikan oleh UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional dan UU No. 7 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan

Nasional Tahun 2005-2025.

 

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pernyataan sikap yang selanjutnya dibacakan Sekretaris Forum, Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H., menyatakan, gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN/PPHN, dalam konstitusi tidak relevan dengan struktur ketetanegaraan Indonesia, sistem pemerintahan Presidensial dan mekanisme pertanggungjawaban pemerintah saat ini yang merupakan hasil dari reformasi dan amandemen konstitusi.

 

PPHN tidak diperlukan karena fungsinya telah digantikan oleh Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional dan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang. Apabila terdapat kekurangan pada sistem perencanaan tersebut, maka yang dievaluasi dan dilakukan revisi adalah pada level UU bukan UUD.

“Pada saat ini, tidak ada persoalan dan mementum penting/luar biasa yang terjadi, yang menjadi motivasi kuat dan krusial dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.

Robert A. Goldwin dan Art Kaufman, berpendapat, bahwa pembuatan konstitusi hanya mungkin dilakukan pada “momentum luar biasa” dalam sejarah suatu bangsa,” sebut Rahmat Muhajir Nugrogo.

 

Amandemen terbatas UUD 1945, katanya, meski diperbolehkan oleh konstitusi (Pasal 37 UUD 1945), namun pada saat ini tidak tepat dilakukan dalam situasi sulit, disaat masyarakat menghadapi persoalan Kesehatan dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi covid-19, MPR melakukan perubahan terhadap UUD, sementara diperlukan partisipasi yang luas

dari seluruh masyarakat dan komponen bangsa dalam perubahan UUD 1945. John Elster, mengatakan, bahwa, sebuah proses pembuatan konstitusi dilakukan dalam “kondisi-kondisi yang paling tenang dan tanpa gangguan”.

Dikatakan, mandemen terbatas UUD 1945 dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk dan bola liar bagi kepentingan politik pragmatis elitis untuk mengubah berbagai pasal dalam UUD 1945 yang tidak hanya terbatas pada masalah PPHN, tetapi juga isu lainnya, antara lain, perpanjangan masa jabatan Presiden 3 periode, yang jelas-jelas menghianati amanah reformasi.

 

“Oleh karena, kami Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua STIH PTMA se-Indonesia

menyatakan, Menolak gagasan menghidupkan GBHN (PPHN) dalam UUD NRI 1945 dan amandemen terbatas (ke-5) UUD 1945,”tegas Rahmat Muhajir Nugroho.

(rul/uje)

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *