Eksistensi Caruik Dalam Ruang Lingkup Minangkabau

Oleh; Aulia Hidayat

Sejumlah kata Bahasa Minang berawalan “c” seperti caruik, caro, cataik, catua, catuih masih digunakan masyarakat Minang dalam percakapan sehari-hari hingga kini.
Sebagian kata yang digunakan dalam Bahasa Minang dekat dengan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh penutur Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Melayu. Sebagian yang lain hanya dikenal dalam Bahasa Minang.
Caruik sendiri di Minangkabau di cap sebagai kata-kata kotor yang mengarahkan kata tersebut sebagai hal yang berbaur dengan negatifisme. Akan tetapi sebenarnya caruik sendiri memiliki ciri khas masing-masing pada setiap situasinya atau kondisinya. Contohnya seperti pantek dalam KBBI Edisi V kata tersebut bemakna ‘pasak’ sebagai cerminan paku kecil. Namun di Minangkabau kata tersebut terbilang kata-kata kotor yang berarah kepada pelanggaran norma-norma adat.
Adapun sebuah kajian yang terdapat di sebuah website yaitu ‘pasbana’ yang mengatakan bahwa Manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individual. Untuk memenuhi kebutuhan hasratnya sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat berupa bahasa untuk berinteraksi dan bekerja sama baik antarindividu maupun antarkelompok. Proses sosialisasi antar manusia hanya dimungkinkan karena adanya bahasa.
Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya supaya ia dapat memenuhi dua hasrat sosial yakni; Pertama, hasrat bergabung dengan manusia sekelilingnya, yang dalam sosiolinguistik, manusia sekeliling ini disebut speech community (masyarakat ujaran). Kedua, hasrat bergabung atau menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Karena itu, manusia dan bahasa dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan.
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal ini akan menghasilkan varian –varian bahasa itu saja tanpa adanya kaitan dengan masalah lain diluar bahasa, Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur yang ada dalam disiplin linguistic saja. Sedangkan kajian secara eksternal akan menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia di dalam masyarakat.
Bahasa itu beragam, artinya meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama namun karena bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen. Penutur yang berbeda latar belakang sosial dan kebiasaan, maka bahasa tersebut menjadi beragam baik dalam segi fonologis, morfolgis, sintaksis maupun leksikon.
Pantek sendiri dalam hal-hal tertentu memiliki makna yang sangat luas contohnya dalam kondisi terkejut, kekaguman, dan hal lainnya. Jadi hal ini tidak bisa menentukan kata itu sendiri mencerminkan hal negatif suatu alasan yang mungkin bisa dicerna melalui tutur kata yang menunjukan sebuah ekspresi seseorang terhadap hal yang sedang ia rasakan.
Hal tersebut telah diteliti dalam ilmu linguistik antara lain, Pertama, fonologis adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya (KBBI:1997). Setiap bahasa terdiri atas bunyi-bunyi dasar. Fonologi  adalah sistem bunyi dari sebuah bahasa, termasuk bunyi yang digunakan dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dapat dikombinasikan (Menn dan Stoel-Gammon, 2005). Adapun fonem merupakan satuan dasar dari bunyi dalam suatu bahasa. Fonem adalah satuan terkecil dari bunyi yang memengaruhi makna. Sebuah contoh menarik dalam bahasa Minang yaitu pada kata benda untuk memanggil seorang perempuan (wanita minang) “kau”. Di Padang Panjang memakai kata “kau”, sedangkan di Nagari Batipuah “gau”, yang terdengar agak kasar.
Kedua, morfologis adalah cabang linguistik tentang bagian-bagian kata (morfem) dan kombinasi-kombinasi bagian dari struktur yang mencakup kata dan morfem tersebut (KBBI:1997). Morfem merupakan satuan minimal dari makna; morfem adalah sebuah kata atau bagian yang lebih kecil yang mempunyai makna. Sebagai contoh dalam bahasa Minangkabau pada kata “palalok”  yang memiliki dua morfem yaitu “pa” berarti ‘orang yang’  dan “lalok” berarti ‘tidur’. Ketiga, sintaksis adalah pengaturan dan hubungan kata dengan kata atau dengan satuan yang lain yang lebih besar (KBBI:1997). Sintaksis melibatkan cara mengombinasikan kata-kata untuk menyusun frase dan kalimat yang dapat diterima.
Keempat, leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa (KBBI:1997). Sebagai contoh, bahasa Minang yang digunakan di Padang Panjang tidak sama persis dengan bahasa Minang di Pariaman maupun di Batusangkar. Misalnya, berikut perbandingan perbedaan bahasa Minang yang digunakan. Di Padang Panjang “Apo kecek nyo ka kau?” “Apa katanya kepadamu?”. Sedangkan di Pariaman, “A kato e bakeh kau?”. Kedengarannya memang berbeda namun memiliki makna yang sama yaitu “Apa katanya kepadamu?”.
Hal di atas adalah sebuah ekspresi atau contoh yang telah dikaji oleh para ahli linguistik yang telah menemukan titik yang unggul dalam hal tersebut. Eksistensi caruik itu sendiri dalam ruang lingkup Minangkabau memberikan sebuah celah atau warna yang membuat suatu variasi bahasa yang menampilkan berbagai ekspresisme.
Kesimpulannya caruik dalam bahasa Minangkabau tidak selalu melanggar norma-norma adat yang telah adat. Hal ini justru menunjukkan bercabangnya penggunaan bahasa di Minangkabau itu sendiri, sebagai ekspresi yang menunjukkan beragam sebuah bentuk atau raut. Sebuah kebiasaan ini telah menjadi penyakit turun-temurun yang pada dasarnya telah melibatkan segala kaum, bahkan sebuah pertemuan tak terduga menghasilkan bunyi caruik yang cukup menarik akan tetapi pelanggaran tetap saja pelanggaran. Namun jika kosa kata yang dituturkan digunakan pada tempatnya dan sewajarnya tidak apa, selain itu caruik juga bisa menggambarkan sebuah ekspresi kedekatan antara individu dengan individu lain yang melibatkan ikatan batin atau sosial yang sangat tinggi.

Padang, 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *