77 Tahun, Sumbar Butuh Peraturan Daerah Kebudayaan Minang

Ditulis Oleh  :  Labai Korok

 

Pada satu kesempatan Penulis berdiskusi dengan beberapa orang tokoh yang malin dan peduli dibidang adat dan budaya Minangkabau yang mulai bergeser. Namun ketika ditanya tentang apa pengamanan budaya Minang dalam bentuk aturan hukum, mereka semua termenung. 77 tahun usia Sumatera Barat tidak ada aturan itu.

Sebenarnya keperihatinan bergesernya nilai-nilai Minangkabau tidak sekedar isu Penulis, namun tokoh sudah memperbincangkan dalam seminar serta pada acara diskusi kebudayaan yang menakutkan di kampus-kampus pun dibahas.

Ternyata saat ini keadaannya secara kasat mata runtuhnya nilai-nilai budaya Minangkabau tersebut sudah terjadi dalam bentuk fisik bangunan dan tingkah laku social yang dipakai disegala lini kehidupan oleh Masyarakat.

Runtuhnya nilai-nilai tersebut tidak hanya datang dari kuatnya harus informasi budaya global, tapi juga terjadi dalam diri pemangku kebijakan yang berkuasa di Ranah Minang ini yang tidak memiliki karakter dan empati terhadap budaya Minang itu sendiri, ini bukan tuduhan yang subjektif terhadap keadaan yang ada.

Namun hal itu bisa dibuktikan diantaranya dilihat dari pembangunan infrastruktur gedung-gedung perkantoran yang ada. Hari ini setiap instansi pemerintah dan swasta pasca gempa tahun 2009 membangun gedung rehab rekon sebahagian besar bentuk arsitektur modern yang tidak tahu asal usul filosofis budayanya, yang jelas tidak berbentuk rumah adat bagonjong.

Keruntuhan nilai-nilai budaya tidak hanya terjadi dari sisi bentuk fisik infrstruktur, tapi lebih mengkhawatirkan terjadi dalam bentuk kerusakan moral perbuatan dan perilaku social budaya, seperti pola kehidupan pribadi yang suka mengembar-gemborkan budaya hedonis dan music band barat, senang tampilan atraksi Dj music disco, tata krama, budi pekerti, basa basi dalam aktifitas keseharian orang Minang.

Apabila dikolaborasi antara kerusakan fisik dan non fisik budaya Minang tersebut, maka tak salah juga kata pameo urang tuo-tuo dahulu yaitu “bantuak yang lahia manujukkan yang bantuk batin”. Artinya bentukan tampilan fisik yang ada sekarang di wajah ranah minang merupakan hasil dari prilaku masyarakat yang tidak memiliki rumpun filosofi minang dalam dirinya, wajar saja terjadi bentukan pembangunan gedung-gedung di Sumatera Barat yang tidak berbentuk rumah gadang Minangkabau tersebut.

Situasi merosotnya nilai-nilai minang ini tentu tidak bisa dibiarkan. Yang komitmen dengan kelestarian budaya dan kebudayaan Minang sudah saatnya bersorak dan mendesak Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Pemprov Sumbar) baik eksekutif (Gubernur) untuk membuat regulasi atau peraturan yang berisi tentang kebudayaan Minangkabau.

Pertanyaannya apakah boleh masyarakat Minang membuat peraturan daerah tersebut? Siapa yang melarang , ya tentulah boleh dirumuskan, boleh diwujudkan dalam koridor menjujung tinggi nilai-nilai “Bhineka Tungga Ika”. Sudah saatnya pemerintah membuat regulasi yang mengikat semua orang untuk menerapkan nilai-nilai budaya minang dan melestarikan budaya minang.

Provinsi Sumatera Barat tidak yang pertama membuat regulasi atau peraturan kebudayaan ini, tapi pemerintah Provinsi Sumatera Barat termasuk yang terlambat membuatnya dari daerah lain, namun walaupun terlambat, Alhamdulillah sudah saatnya mengikuti langkah daerah-daerah yang terlebih dahulu memperjuangkan keistimewaan daerahnya seperti DKI, Djogja, Papua dan NAD.

Sudah saatnya Peraturan Daerah (Perda) Sumbar mengatur tentang bentuk konstruksi gedung instansi dan rumah pribadi yang berbentuk arsitektur Minangkabau asli, dengan aturan tersebut semua gedung yang akan dibangn dan gedung yang ada harus direnovasi agar berbentuk ornament Minangkabau nan rancak mencerminkan keistimewaan daerah Sumatera Barat.

Disamping itu peraturan kebudayaan Minangkabau ini juga mengatur masalah prilaku dan tata karma orang Minang dalam kehidupan kesehariannya, yang tentu harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai filosofi “Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitab Bullah”, artinya adalah semua perilaku kehidupan masyarakat Minangkabau harus menerapkan nilai-nilai Islam sesuai dengan filosofinya.

Filosofi ABS-SBK tersebut jika diaplikasikan dalam kehidupan keseharian, yakinlah tidak aka nada lagi masyarakat Minangkabau yang tersandung kasus korupsi, tidak adalagi pejabat publik seperti anggota DPRD mengisap sabu-sabu (narkoba) tidak akan ada lagi ketua pengadilan agama kedapatan mesum dikamar hotel melati, dan tidak aka nada lagi dosen yang membunuh istrinya dengan alasan cemburu.

Dililhan dari peraturan yang akan dilahirnkan sangatlah berat, karena mencoba mengatur kembali kehidupan masyarakat minang dalam kungkungan budaya minang yang sudah banyak bergeser ke nilai-nilai asing. Tapi ada keyakinan jika semua pemangku kepeningan serius untuk melestarikan budaya minang ini, maka tidak akan ada hal yang tidak mungkin untuk dibuat dan diatur.

Budaya minang adalah satu-satunya benteng yang akan melindungi orang Minang dari masuknya nilai-nilai yang ada dari luar secara seporadis, sehingga anti boddy yang memungkinkan bisa melindungi itu hanya Allah regulasi dan Perda yang dibuat penuh dengan nilai isi budaya Minang.

Jika tidak dibuat reglasi dan peraturan budaya Minang tersebut sesegera mungkin, bisa diyakini kedepan siapa pun pemangku kepentingan yang berkuasa akan menularkan pengaruh dan pemikirannya sendiri untuk mewujudkan budaya tertentu. Seandainya yang berkuasa seperti kepala daerah orang yang mengerti budaya Minang, Insya Allah makin kuatlah kecenderungan kebijakannya untuk membangun kebudayaan Minang itu sendiri.

Seandainya yang berkuasa nanti orang-orang yang tidak mengerti budaya, memiliki kecenderungan mengikuti prilaku budaya asing. Maka kebijakan dan realisasi pembangunan akan mengarah pada runtuhnya nilai-nilai budaya Minang, dengan ada kebijakan dalam bentuk PERDA tersebut semua budaya Minangkabau bisa dilestarikan.

 

Editor  :  Robbie

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *