
(Sebuah Memoar)
“Gila hormat itu haram, tapi jadi orang terhormat wajib jadi tujuan hidup”. Begitu kata Buya Hamka. Salah satu tokoh penting di negeri ini. Ulama besar yang berasal dari Maninjau, Sumatera Barat. Namanya harum ke seluruh penjuru mata angin dan beliau adalah orang Minang. Ya, Minangkabau, suku bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan. “Alam takambang jadi guru”, (Alam terkembang dijadikan guru) itulah prinsip hidup kami, kedengaran begitu merdeka bukan? Merdeka untuk berpendapat, bersikap dan bertingkah laku.
Saya bangga jadi orang Minang. Banyak nama besar di Indonesia adalah orang Minangkabau, bukan orang Padang seperti yang selalu dibilang teman-teman di tanah Jawa. Kecintaan orang Minang pada Republik ini tak usah ditanyakan lagi. Cinta kepada bumi pertiwi dimana kita tumbuh dan berkembang selalu terpatri. Selayaknya ketika menerima kasih cinta dari seorang Ibu, yang tulus, tanpa perhitungan untung rugi dan selalu membekas dalam benak diri.
Tidak peduli bagaimana perkembangan modernisasi yang terjadi, tidak akan mampu menggantikan rasa cinta saya terhadap ranah Minang nan elok. Sebagai pemuda yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, memaksa saya harus berpisah untuk merantau dan menanggung rindu pada Ranah Bundo. Demi mewujudkan mimpi dan cita-cita serta sebuah tanggung jawab moral sebagai anak muda Minang. Seperti dalam pantun lama :
“Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu, Di rumah paguno balun”.
Artinya : Merantau Bujang dulu, Di rumah/kampung belum berguna. Sebuah penyemangat untuk bangkit merubah jalan takdir untuk hijrah dari nyamannya ketiak Mama.
Sebenarnya, jujur saja, di kemudian hari, lebih banyak gagal yang saya cicipi daripada berhasil apalagi sukses. Tapi tak mengapa, biar perahu layar ini cabik dihantam badai daripada lapuk di dermaga, gumam saya dalam hati.
Dulu, saya mengira bahwa dengan mendapatkan banyak uang saya akan menjadi senang dan menjadi orang terpandang di pergaulan. Makanya, tanpa tedeng aling-aling saya merantau ke Batam dengan pengalaman seadanya. Saya tinggalkan bangku kuliah di kota Padang dan mengadu nasib berharap mujur akan datang menyapa. Ternyata tidak semudah cerita sinetron, alih-alih berhasil saya malah gagal total. Uang ternyata bukan segala-galanya. Rawe-rawe rantas, malang-malang puntung, saya banting setir pindah ke Jakarta.
Ajaibnya, gemblengan keras Ibukota telah membuat saya menjadi pribadi yang sepenuhnya berbeda. Saya menjadi lebih tahan banting, tidak mudah putus asa, pantang menyerah dan punya nilai yang tidak dimiliki oleh teman sebaya yang meringkuk manja di ranjang pemberian orangtuanya.
Setelah dihantam badai kehidupan yang tidak sengaja saya ciptakan sendiri, pada pertengahan tahun 2012, saya mendapat tawaran dari Ibunda tercinta agar menjadi PNS. Saya disuruh pulang kampung untuk mengikuti tes. Saya yang ketika itu berada di titik nadir menurut saja. Tanpa debat, tanpa bertanya saya mengikuti keinginan Ibunda. Dalam hati saya membatin, mungkin ini saatnya saya menjadi anak yang nurut sama orangtua, apalagi Ibu.
Singkat kata, berkat doa dan restu Ibu saya akhirnya saya bergabung dengan Kementerian Hukum dan HAM. Ya, salah satu kementerian elit di negara ini. Saya diterima bekerja di penjara. Lapas Kelas IIA Bukittinggi tepatnya. Bekerja di Lapas adalah suatu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Akan tetapi keluarga besar mengira saya cocok bekerja sebagai seorang sipir karena dari kecil saya memang punya reputasi bandel dan susah diatur. Saya cuma nyengir mendengar guyonan mereka, ada sebuncah bahagia dalam dada saya dan yang paling penting saya bersyukur. Bersyukur atas nikmat Tuhan, mungkin jika tidak diterima menjadi pegawai penjara, kehidupan saya akan jauh lebih memburuk di perantauan.
Seiring berjalannya waktu, sebagai PNS saya menjalankan amanah untuk menjadi abdi negara di penjara. Penjara memiliki semboyan “Griya Winaya Janma Miwarga Laksa Dharmesti” yang artinya rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Saya kemudian belajar untuk menjadi bagian dari sistem yang dibangun untuk menjadikan orang-orang yang salah jalan itu untuk bisa kembali pulang ke rumah mereka, rumah yang sebenarnya. Namun, terdapat sebuah ironi ketika saya melihat fenomena dari balik dinginnya jeruji besi ini. Pemenjaraan saja ternyata tidak mampu meningkatkan pertaubatan atau bahkan menjamin para narapidana untuk kembali menjadi manusia seutuhnya.
Apabila ditilik lebih dalam, terdapat beberapa uzur yang menjadi penyebab Lapas/Rutan tidak sepenuhnya menjadi rumah untuk pendidikan manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan berbuat baik. Sistem Pemasyarakatan yang telah dirumuskan dengan susah payah oleh para pendahulu ternyata tidak berjalan mulus sebagai mana mestinya. Uzur tersebut diawali dari masalah kurangnya mutu sumber daya manusia. Konon, masih banyak petugas pemasyarakatan yang tidak memahami tugas mulia yang mereka emban, kemudian diperparah lagi dengan kurangnya kesadaran petugas akan pentingnya sebuah institusi yang telah beralih nama dari penjara ke Pemasyarakatan. Sehingga itu akan bermuara pada tidak terlaksananya fungsi mereka sebagai pembina narapidana.
Dengan keadaan demikian, sudah pasti Pemasyarakatan akan jauh dari kata ideal. Pemasyarakatan hanya akan menjadi kotak segi empat yang hanya mengurung orang tanpa tujuan yang jelas. Hal ini bertambah buruk oleh kegemaran masyarakat kita untuk memenjarakan orang. Realitas menunjukkan dengan jelas, tidak adanya upaya mediasi yang serius guna menghidarkan pidana kurungan atau restorative justice bagi pelanggar hukum. Yang penting masukkan saja meraka ke penjara. Setali tiga uang, akan bertambah banyak narapidana pesakitan yang hanya akan menjadi beban negara. Proses pembinaan tidak nyatanya berjalan maksimal, kesejahteraan Warga Binaan Pemasyarakatan pun akan menjadi tanda tanya besar. Lihatlah kondisi terkini dari seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia, semuanya padat, melimpah ruah dan over kapasitas. Berkaca kita pada kenyataan, Lapas dan Rutan akan semakin kewalahan dalam mewujudkan sistem Pemasyarakatan apabila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Melihat permasalahan yang demikian ini, telah membuat saya semakin memantapkan hati untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu di bidang manajemen sumber daya manusia. Saya ingin meningkatkan kapasitas diri supaya nanti kembali ke Pemasyarakatan, institusi yang saya cintai setengah mati ini, saya bisa lebih berguna. Tujuan saya murni berfokus untuk memberikan kontribusi nyata terhadap Pemasyarakatan khususnya manajemen sumber daya manusia. Dengan peningkatan kapasitas individu guna mendongkrak kinerja, yang kemudian diharapkan dengan meningkatnya kinerja personal akan membawa perubahan besar terhadap institusi pemasyarakatan itu sendiri. Sebuah visi yang sempurna, sambil menahan geli bercampur malu di perut.
Dengan penuh kesadaran, saya paham visi saya bukanlah hal yang mudah untuk diwujudkan, tetapi saya yakin justru dengan melalui sebuah proses yang panjang nan sulit maka diri saya semakin ditempa dan mampu menjadi pribadi yang unggul. Persis seperti seekor kupu-kupu indah yang harus melalui proses metamorfosis.
Sedikit dari proses tersebut sudah sempat saya lalui sewaktu menjalani studi magister manajemen di Bukittinggi. Pada awalnya saya dicemooh karena melanjutkan studi ke jenjang S2, maklum saya masih golongan dua (tamatan SMA sederajat) waktu itu. Tapi saya tidak menghiraukan itu semua. Terus terang saya sangat keteteran membagi waktu antara kuliah, tugas-tugas kantor dan beban hidup serta tanggung jawab sebagai seorang anak laki-laki sulung, suami dan ayah. Mulai dari cicilan BRI yang entah kapan lunas, tagihan listrik dan internet, bensin motor, pajak mobil, uang sekolah, uang kuliah sampai biaya sehari-hari.
Alhamdulillah, Tuhan Maha Kaya, saya diberikan kemudahan oleh kasihNya yang tak terhingga dan akhirnya saya berhasil menamatkan studi. Sebagian besar perjalanan studi tersebut telah membantu menjadikan saya sebagai seorang pemikir dan pekerja keras yang harus bisa mengelola waktu, tenaga, uang dan otak dengan baik.
Menjadi seorang petugas pemasyarakatan itu tidak mudah, karena dengan berjubelnya manusia yang berkumpul dalam satu tempat yang sesak akan menimbulkan begitu banyak kepentingan dan permasalahan. Keruwetan dari konflik tidak berhenti di situ, rutinitas yang itu-itu saja menjemukan dan kebosanan menjadi hal yang tidak terelakkan. Jadi wajar jika kebanyakan dari petugas Pemasyarakatan hanya menjalankan tugas sebagai ‘penggugur kewajiban’ saja ditambah pula tidak adanya komitmen serius untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi. Sebagai sesama insan Pengayoman saya bisa memahami seperti apa pola pikir kebanyakan rekan kerja saya. Salah satu pola pikirnya “jika kerja biasa saja dapat gaji, lalu buat apa sibuk-sibuk berbuat lebih, toh gaji juga nggak nambah”. Di sisi lain, bagi organisasi, komitmen anggotanya sangat diperlukan dalam menjamin keberlangsungan dan kemajuan demi meningkatkan daya saing organisasi, di samping intelektualitas dan profesionalitas.
Faktanya, kebanyakan petugas memang masih enggan untuk meningkatkan kinerja. Mereka menganggap bahwa hal itu hanya membebani mereka. Itu dapat dilihat dari berbagai fenomena, mulai dari masih adanya konflik internal antar pegawai, pegawai belum sepenuhnya mendukung (berperan aktif) dalam melaksanakan tanggung jawab serta pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, kurangnya kesadaran untuk bekerjasama dengan pegawai lain, pegawai hanya terkonsentrasi pada tugas rutin, rendahnya kepedulian pegawai terhadap aktifitas kantor, kurangnya rasa memiliki dan menjadi bagian dari organisasi, pegawai masih sering terlambat masuk kerja, tidak masuk kerja tanpa berita sampai pada kebiasaan lama untuk menunda pekerjaan.
Padahal tentu saja semua hal yang tersebut di atas tidak sesuai dengan semangat pergeseran orientasi dan strategi pembangunan nasional. Dalam era globalisasi dan sejalan pula dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) menuntut adanya keterbukaan, demokratisasi, partisipasi dan pelayanan prima kepada masyarakat, sebagai akibat semakin tingginya kesadaran masyarakat bahwa mereka mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan yang semakin baik dari pemerintah. Mengingat begitu besarnya peran dan kedudukan sumber daya manusia dalam kegiatan institusi, maka diperlukan kesadaran yang tinggi oleh setiap ASN bahwasanya peningkatan kinerja merupakan keniscayaan yang harus dilakukan di zaman keterbukaan informasi seperti saat ini.
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain. (Fauzi 2020)
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan hal di atas, beberapa tahun belakangan saya terlibat aktif dalam Pembangunan Zona Integritas menuju WBK/WBBM. Malah saya sempat diberikan mandat oleh pimpinan untuk menjadi ketua. Meski pada saat itu belum menduduki jabatan struktural, akan tetapi pimpinan memberikan kepercayaan kepada saya untuk mengemban amanah. Walaupun pada saat itu Lapas Kelas IIA Bukittinggi belum berhasil mendapatkan predikat Wilayah Bebas dari Korupsi, perlahan tapi pasti perubahan demi perubahan ke arah yang lebih baik telah menjadi prioritas utama organisasi.
Akhir kata, guna menunjang kompetensi saya, maka saya memutuskan untuk kembali menimba ilmu lebih banyak dan nantinya saya akan melakukan kontribusi yang lebih besar terhadap Pemasyarakatan Indonesia setelah studi S3 saya telah saya selesaikan. Sampai saat ini saya pun masih bermimpi. Mimpi untuk menjadi orang besar yang bisa bikin harum Minangkabau. Bismillahirrahmanirrahim.
Bukittinggi, 12 Februari 2023