Terkait Kasus Pasar Banda Buek, 5 Orang Saksi Akan Diperiksa

PADANG,KABARDAERAH.COM- Belum lama ini Indrawan, Ketua LSM KOAD membuat Laporan Pengaduan ke Polsek Lubuk Kilangan terkait adanya Tindakan Pidana Penipuan dan Penggelapan.

Laporan Pengaduan yang dibuat Indrawan tersebut tepatnya dibuat pada, Jumat 12 Juli 2019 yang lalu. Ia diminta untuk melaporkan seluruh masalah hukum yang terjadi di Pasar Banda Buek, Padang.

Menurut Indrawan dalam Laporan Pengaduannya, masalah hukum tersebut terjadi sejak Januari 2017 sampai Juli 2019.

Indrawan kepada kabardaerah.com menjelaskan, sampai saat ini untuk tahap pertama yang diperiksa baru 2 orang dari pihak pembeli, yaitu Evawarni, Asra Yuhemli. Mereka sudah diperiksa pada bulan Oktober yang lalu.

Selanjutnya untuk tahap kedua, akan dilakukan pemeriksaan terhadap Syafruddin, Nelly Yetti, Afrinal, Hendrizal, dan Hamdani, anggota UPTD Pasar Banda Buek.

Indrawan menjelaskan, semua ini berawal dari terbitnya SPK Dinas Perdagangan kepada PT Syafindo Mutiara Andalas Tanggal 1 September 2016 yang ditandatangani oleh H. Ensrizal, SE, M.Si, Kadis Pasar Kota Padang.

“Jangan mentang mentang Kepala Dinas yang menerbikan sehingga akan terlepas dari jerat hukum,” kata Indarawan yang pernah mengekspos masalah ini pada beberapa media yang berada di Sumbar.

Lebih rinci, Indrawan menjelaskan, dalam Bab II, UU TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 disebutkan:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
sedangkan dalam Pasal 3 disebutkan bahwa: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Menurut Indrawan, SPK adalah Surat Perintah Kerja yang dikeluarkan untuk memulai sebuah pekerjaan.

Seharusnya SPK tersebut didahului oleh Kontrak, Perjanjian Kerja Sama, yang tidak kalah penting harus didasari oleh dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun, dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

Dalam terminologi pengelolaan keuangan daerah disebut DIPA, DIPA ini harus dilaksanakan oleh satuan kerja daerah.

Jika SPK terbit tanpa didahului oleh dokumen perencanaan dan tidak ada dalam APBD Kota Padang, surat-surat seperti Kontrak atau Surat Perjanjian Kerja, dapat dikatakan telah menyalahi aturan yang berlaku, bahkan dapat dikatakan telah melakukan Tindak Pidana, jelasnya.

Karena yang disebut Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan seseorang melanggar peraturan perundang-undangan, terangnya.

Bagaimana jika yang menerbitkan SPK tersebut adalah Kepala Dinas yang notabene adalah perpanjangan tangan pemerintahan itu sendiri, dan apa yang harus dilakukan jika yang menerima SPK merasa ditipu oleh sang penerbit SPK?

Karena diduga terdapat pelanggaran atas KUHPidana untuk itulah Ia belum lama ini membuat Laporan Pengaduan di Polsek Lubuk Kilangan.

Semua itu juga karena Ia sebagai warga negara yang mengetahui, melihat, menjadi korban terjadinya sebuah Tindak Pidana.

Karena yang diterbitkan terkait dengan Dokumen Negara, diduga pelanggaran yang terjadi terkait dengan perbuatan pemalsuan surat Pasal 263, 264 KUHPidana, demikian penjelasannya.

Sebelum dilakukan proses tender dipemerintahan, biasanya sudah disiapkan dana untuk pembayaran bagi pemenang tender dan pelaksanaanya harus sesuai dengan aturan, Dasar Dasar Pelaksanaannya harus sesuai dengan peraturan perundang undangan seperti:
1. Undang–Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 23:
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang–undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar–besarnya kemakmuran rakyat;
2. Rancangan Undang–Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
4. Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKAKL
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penyusunan dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 257 Tahun 2014 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2015

Menyalahi Prosedur yang berlaku:
Sesuai dengan definisi yang ada dalam UU Keuangan Negara No 17 Tahun 2003, yang dimaksud dengan APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Sedangkan DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun, dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Dalam terminologi pengelolaan keuangan daerah disebut DIPA.

Namun menurutnya, semua itu terkesan tidak dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan karena pekerjaan tidak kunjung dibayar, kemungkinan telah terjadi penyimpangan dari aturan aturan tersebut, sehingga diduga kuat, DPA proyek tersebut tidak ada.

Maka dari itu, Ia menilai pihak yang menerbitkan dapat dijerat dengan pasal pemalsuan surat, dan pihak kedua dapat dijerat dengan pasal memakai surat palsu dengan tuntutan pidananya delapan tahun, karena yang dipalsukan tersebut adalah dokumen negara karena memakai Kop Dinas Pasar. (Rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *