The Power Of Kepekso – Cambuk Cinta Menjadi Candu

ARTIKEL,- Hidup merupakan pilihan, baik suka maupun tidak suka. Namun, tidak jarang kita dihadapkan pada suatu keadaan yang membuat terpaksa melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Awalnya keterpaksaan itu membuat tersiksa dan merasa tidak nyaman untuk melakukannya, apalagi kalau tidak diiringi dengan keikhlasan.

Tetapi apabila semua itu dijalani dengan keikhlasan, akan ada akhir yang indah di ujung perjalanan tersebut. Terkadang kita sebagai manusia lebih berhasil dipaksa dalam melakukan suatu pekerjaan daripada melakukannya dengan kerelaan dan keyakinan. Istilah lainnya adalah keluar dari zona nyaman.

Keberhasilan seorang manusia tidak 100% ditentukan oleh kecerdasan, kekayaan, maupun keturunan. Ketika seseorang harus dihadapkan pada situasi yang membuatnya terpaksa melakukan sesuatu, maka suatu kekuatan besar akan mengikutinya.

Begitu juga dengan keterampilan yang dimiliki oleh manusia untuk bertahan hidup, maupun berafiliasi dengan keadaan akan membuat perubahan besar dalam kehidupannya. Keterpaksaan ikut berperan andil dalam menentukan keberhasilan seseorang.

Hal inilah yang mengajarkan saya untuk selalu ikhlas menghadapi sebuah tantangan, apalagi kesempatan itu ada saat mengikuti tantangan menulis 90 hari yang diadakan Media Guru.

Awalnya saya mencoba menulis saat mengikuti Media Writing Camp ke-17 di Kota Bukittinggi. Ya, sebuah cita-cita terpendam saat menjadi pasukan abu-abu atau bangku sekolah, dan disinilah saya merasa menemukan wadahnya.

Setelah berhasil menjawab tantangan itu, saya mampu mengeluarkan dua buku dalam satu bulan, saya semakin ketagihan dan mendapat candu. Pertemuan TNGP tahun 2019 di Jakarta saat itu semakin membakar semangat saya untuk menulis, menulis dan menulis.

Dengan mengikuti tantangan itu, saya mampu untuk melihat sejauh mana kualitas diri dalam menciptakan sebuah karya melalui tulisan. Piagam penghargaan yang dijanjikan awalnya merupakan alasan kedua saya mengikuti tantangan itu. Tantangan 30 hari pertama masih berjalan lancar hingga piagam biru berada di genggaman. Sebuah kebanggaan bagi seorang penulis pemula seperti saya.

Memiliki ide dan mencari tema masih berdatangan walau terkadang mulai tersendat, kecepatan menulis mulai meningkat, dari awal menulis memakan waktu satu jam, mulai mengalami peningkatan menjadi tiga puluh menit. Bahkan bisa dalam waktu lima belas menit, satu tulisan berhasil diselesaikan.

Memasuki tantangan keenam puluh, kualitas tulisan saya dalam penggunaan tanda baca, EYD, dan diksi juga mulai mengalami sebuah perubahan. Ilmu yang saya dapat melalui sebuah grup diskusi media daring menjadikan motivasi sendiri. Kebanggan tersendiri dalam diskusi yang selalu dilakukan di Grup Editor Sumbar semakin menambah wawasan menulis saya.

Saya mulai merasakan, jika menulis seperti candu cinta yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Walau bersamaan dengan candu cinta itu berbagai protes mulai berdatangan dari beberapa keluarga terdekat. Walau suami sendiri sudah bertahun bergelut di dunia menulis, protes itu masih saya dapatkan walau itu dalam sebuah candaan percakapan keluarga.

Saya sadar dengan peran ganda yang sedang saya lakoni, mulai dari menjadi seorang guru yang bertugas dari pagi hingga sore, belum tugas kuliah yang menyita waktu dan pikiran membuat saya hampir saja menyerah. Tugas rutin sebagai ibu rumah tangga, istri, dan seorang sahabat bagi keluarga harus saya jalani dengan sempurna.

Saya tidak menyerah dengan peran ganda itu, semangat saya terus terpacu melihat beberapa teman yang harus remedi. Saya tidak ingin mengalami hal yang sama seperti mereka. Ekspektasi yang tinggi membuat saya kembali melangkah maju. Kegagalan dari beberapa teman mejadi cambuk bagi saya untuk berhasil. Piagam bukan lagi menjadi alasan saya mengikuti tantangan tersebut.

Hingga akhirnya, tantangan sembilan puluh hari dapat diselesaikan tepat waktu. Pencapaian ini merupakan sesuatu yang luar biasa bagi saya. Berbagai dorongan dan dukungan dari berbagai pihak membuat saya bisa menjawab tantangan tersebut.

Ternyata, setelah selesai melewati tantangan tersebut, candu menulis tidak bisa lepas dari diri saya. Kegiatan menulis tetap saya lakukan setiap hari. Menulis menjadi cara saya untuk mengekspresikan diri dan membuktikan eksistensi saya kepada orang lain, terutama suami yang bergelut dalam keredaksian sebuah portal berita nasional.

Impian dan harapan berkembang dari waktu ke waktu. Keterpaksaan akhirnya membuahkan hasil yang menakjubkan apabila dijalani dengan keikhlasan. Bagi saya keterpaksaan adalah merupakan kekuatan yang wajib disyukuri. Banyak orang hebat dan sukses menemukan keberhasilan ketika mereka dipaksa oleh keadaan untuk melakukan sesuatu. Jadi, jangan remehkan kekuatan keterpaksaan itu.

Lintau, 6 Juni 2020

BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Metria Eliza,S.Pd dan biasa dipanggil Merry. Lahir di Payakumbuh, 11 April 1980. Memiliki dua pasang putra dan putri dan suami yang selalu mendukung dan menjadi motivasi saya dalam berkarya. Saat ini, sedang menempuh pendidikan Magister Pendidikan Dasar di Universitas Terbuka.

Penulis memiliki impian untuk dapat menjadi penulis terkenal selain tugasnya sebagai pendidik. Telah mengeluarkan dua buku solo, dan 3 buku antologi serta ratusan tulisan di blog [email protected] yang selalu menjadi wadah bagi karya penulis.

(Artikel ini merupakan konten yang pernah dimuat di https://metriaelizaspd.gurusiana.id )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *