Muhammadiyah, Gerakan Amar Makruf Nahi Mungkar.

Sawahlunto-Ciri khas Muhammadiyah adalah dengan tidak memisahkan urusan dunia dan akhirat. Karena untuk menuju akhirat, tidak dengan cara meninggalkan urusan dunia. Justru bagi Muhammadiyah, untuk  menggapai akhirat harus dengan cara mengurus dunia. Konsekuensi ini, merupakan salah satu karakter dari Muhammadiyah. Karena cara dakwah Muhammadiyah tidak hanya sekadar dakwah mimbar, ibadahnya bukan sekadar ibadah masjid. Tetapi bagi Muhammadiyah, keduanya harus saling berkait dan berujung pada amal-sosial.

Seorang dokter yang memutuskan mencabut sumpah dokter karena ingin beribadah di masjid, hal itu merupakan sebuah pilihan. Tetapi bukan begitu cara Muhammadiyah berpikir. Apabila orang Muhammadiyah berprofesi dokter, akan  berdakwah dan beramal saleh. Bahkan dengan dakwah mampu menggalang gerakan dan mengupayakan lapisan masyarakat dunia yang lebih sehat.

Karenanya, gerakan Muhammadiyah tidak akan mungkin menggalang pergerakan tanpa dasar-dasar ilmiah. Dalam kamus Muhammadiyah tidak ada adagium yang  berbunyi “kebanyakan wacana padahal praktek lebih penting.” Praktek yang lurus dimungkinkan karena konsepsi wacananya yang jernih. Sebelum beramal, orang harus berilmu dan untuk keduanya, dianjurkan untuk harus berjalan siring.

Warga Muhammadiyah gemar belajar dan mencintai majelis ilmu tetapi watak ilmu yang khas Muhammadiyah tidak bersifat permukaan. Ibarat pengajian, tidak cukup hanya sekadar mengutip dari dalil namun berikut ulasan dan kajiannya.

Ciri umum dari karakter pemikiran warga  Muhammadiyah adalah inovatif, alternatif, rasional, historis dan semua dikaji secara mendalam. Karenanya, warga  Muhammadiyah berani berbeda disebabkan karena mempunyai kajian mendalam untuk suatu persoalan. Mengikuti seperti pendirinya, Kyai Ahmad Dahlan sebagai  man of action sekaligus man of thought―melalui ilmu ia mampu berpikir melampaui zaman yang penggarapanya  melalui  dakwah.

Menjalankan Islam berarti adalah mengamalkan perintah Allah dalam bentuk yang lebih luas atau kontekstualisasi. Artinya, bentuk kebaikan bisa dikembangkan melalui praktek langsungnya sesuai dengan konteksnya. Misalnya, akhlak membuang duri di jalan bisa menjadi sebuah etika atau tidak membangun polisi tidur secara sewenang-wenang di jalan umum, salah satu contoh praktek nyatanya.

Kajian Muhammadiyah yang dikenal adalah al-Ma’un yakni keberpihakan kepada kaum fakir miskin, anak yatim dan kaum papa serta kaum yang terpinggirkan. Setelah mengaji al-Ma’un berulang kali, seorang murid protes kepada Kyai Dahlan  dan oleh Kyai Dahlan, dijawab apakah ayat ini sudah diamalkan dan jalankan. Dengan tertegun, sejak itu para murid mulai menginisasi dalam berbagai bentuk kreatif seperti menyantuni anak yatim, melalui cara mengurusnya dengan mengumpulkan, memberinya makan dan disekolahkan.

Pemahaman berdasarkan pengalaman ini sesuai dengan konteks  Muhamadiyah agar tak terjadi kemunduran generasi. Sedekah bukan bentuk final dalam menyantuni anak yatim tetapi  mereka harus dididik hingga mandiri. Perintah Iqra’ mendorong berdirinya sekolah, doa kesembuhan mendorong berdirinya rumah sakit. Hal inilah yang disebut bagi Muhammadiyah, Ejawantah atau tindakan dan keberadaan.

Sejak awal berdiri, Kyai Dahlan dan murid-muridnya konsisten menjaga marwah  Muhammadiyah agar tidak terlibat dan tergoda menjadi partai politik walau peluang untuk berpolitik sangat besar karena Muhammadiyah diperhitungkan banyak pihak. Dan kita ketahui, berulang kali Muhammadiyah dibujuk-rayu untuk berpolitik, mulai dari kepemimpinan  Semaoen hingga Hadji Agus Salim tetapi Muhammadiyah tetap konsisten dan  menolaknya.

Dari ejawantah atau pengalaman dan kajian, Muhammadiyah melihat jalan politik rentan mencemari itikad baik gerakan dan dapat merusak keikhlasan aktivisnya karena menjadikan asetnya tersebut sebagai bahan rebutan. Hal ini, dapat  memendekkan usia gerakan karena melalui intrik politik, dengan mudah pula  bisa menjatuhkannya.

Namun secara politik, warga Muhammadiyah tidak dihalangi atau dilarang untuk berpolitik. Sejak awal proklamasi, banyak kader Muhammadiyah yang telah mengisi kemerdekaan ini dengan berbagai politik gagasannya. Hal ini dapat dilihat saat perdebatan dalam merumuskan dasar negara sebagai contohnya, begitu besar peran dari tokoh tokoh Muhammadiyah. (Fdm)

Sumber: republika.co.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *