Pendidikan di Titik Nadir

Oleh : Erza Surya Werita (Guru MTsN 2 Solok)

Mengutip ungkapan populer Nelson Mandela; Education is the most powerful weapon which you can use to change the world. Pendidikan yang bermutu adalah kekuatan dalam merubah arah kehidupan yang lebih baik bahkan suatu daerah, bangsa dan negara.

Bisa dibayangkan apabila masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik maka negara dan masyarakatnya menjadi miskin dan terbelakang. Sehingga tidak mengherankan bila pemerintah mengucurkan dana yang tidak sedikit untuk dapat mengedukasi masyarakat.

Di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, pendidikan mendapatkan porsi 20% dari keseluruhan APBN yang ada. Angka ini merupakan presentase yang cukup besar. Jadi sudah semestinya kalau dengan pendanaan yang begitu besar akses pendidikan akan sangat baik dan setidaknya mampu sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya seperti halnya negara Finlandia, Inggris, Australia dan ataupun negara Paman Sam sekali pun.

Beberapa waktu lalu The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018. Tidak jauh beda dengan hasil PISA di tahun-tahun sebelumnya, di mana PISA selalu menempat Indonesia di papan bawah peringkat. OECD secara rutin setiap tiga tahun sekali mengeluarkan hasil surveinya terhadap kualitas sistem pendidikan negara-negara di dunia, jadi memang untuk tahun 2020 kita belum tahu hasilnya karena memang akan di release pada tahun 2021.

Pada hasil survey paling akhir yang dilakukan oleh OECD di tahun 2018 lalu, Indonesia di jajaran nilai terendah terhadap pengukuran membaca, matematika dan sains.

Untuk kemampuan membaca negara kita berada pada peringkat 74 atau peringkat ke-6 dari bawah dan ini turun 10 peringkat, di mana tahun 2015 yang lalu kita masih menempati angka ke-64. Menyedihkan memang, karena kalau dilihat kasat mata memang budaya membaca kita sangatlah rendah.

Sedangkan kategori matematika, pendidikan kita berada di peringkat ke-7 dari bawah (73). Padahal kalau kita lihat pelajaran matematika kita sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Bagaimana tidak, di SD kelas rendah saja peserta didik sudah diajari akar dan pangkat dan soal-soal yang rumit lainnya, sehingga sangat sulit untuk diselesaikan bahkan oleh guru yang mengajar di SD itu sendiri.

Saking tinginya materi yang diberikan sangatlah sulit untuk diterapkan dalam keseharian. Sangat berbeda dengan di Australia misalnya, mereka hanya mengajarkan rumus-rumus matematika yang memang akan dipakai dalam kehidupan mereka, sehingga di SMP kelas 9 saja atau disebut year 9 mereka masih belajar rumus-rumus yang sangat sederhana seperti penambahan, pengurangan perkalian dan pembagian saja, belum ada akan ditemui operasi akar dan pangkat.

Lalu menilik dari fakta-fakta di atas kenapa pendidikan kita belum juga bisa efektif bila dibandingkan dengan besarnya dana yang disediakan pemerintah. Karena pada dasarnya tantangan pendidikan global adalah tidak hanya menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat, tetapi yang terpenting adalah memastikan progress atau perkembangan pendidikan itu sendiri. Jadi tentu ada yang salah dengan mandeknya perkembangan pendidikan di negara kita tapi dimanakah itu? Di guru kah? Orang tua, peserta didik, pemerintah, atau institusi pendidikan?.

Dari semua elemen pendidikan tersebut tentu pemerintah lah yang lebih bertanggung jawab karena pemerintah adalah pengambil kebijakan yang akan mengarahkan pendidikan disuatu negara. Pemerintahlah yang bertanggung jawab mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan demokratis (UU Sisdiknas pasal 3).

Saat ini pemerintah sedang mencoba untuk mengangankat kualitas pendidikan melalui program yang populer dengan sebutan POP (Program Organisasi Penggerak). Sayangnya belum lagi program ini berjalan malah menjadi polemik di kalangan dunia pendidikan dan malah menimbulkan kegaduhan pendidikan sekaligus merambat kemasalah politik. Bahkan salah satu fraksi DPR RI mendesak pemerintah untuk mengavaluasi kinerja Menteri Pendidikan.

Hal ini dipicu oleh peningkatan kualitas pendidikan yang malah diserahkan kepada organisasi yang belum teruji dan mempunyai sejarah yang panjang dalam mengawal pendidikan di Indonesia sebagaimana Organisasi Muhammdiayah dan NU. Tapi pemerintah malah mengucurkan hibah dana yang cukup besar untuk organisasi konglomerat yang tidak bergerak di bidang pendidikan. Dengan alasan itulah kedua organisasi tersebut mengundurkan diri dari percaturan program POP yang diprakarsai oleh kementerian pendidikan. Bahkan belakangan organisasi profesi guru yaitu PGRI ikut undur diri dari program ini.

Padahal sebagaimana diketahui saat ini dunia pendidikan kita sedang sekarat dengan adanya anggaran yang dipangkas dalam rangka penanggulangan pandemik covid-19. Tetapi pemerintah malah melibatkan perusahaan swasta untuk melaksanakan pelatihan guru. Hal ini tentu saja melukai organisasi-organisasi kependidikan yang selama ini memang berkecimpung di dunia pendidikan. Belum lagi perguruan-perguruan tinggi yang memang selama ini khusus mencetak tenaga kependidikan yang berkualitas. Tetapi kenapa pemerintah tidak memfokuskan dan memberdayakan organisasi yang selama ini memang dibentuk untuk meningkatkan kualitas pendidikan di negara yang kita cintai ini.

Tentu saja masih banyak yang perlu pemerintah perhatikan seperti halnya belum bisa efektifnya belajar saat ini karena hanya dijalani melalui daring dengan aplikasi yang tidak dirancang untuk proses belajar mengajar jarak jauh. Cara belajar daring ini juga belum ada kajian yang mendalam tentang keefektifitannya. Sehingga yang sering terjadi malah orang tua yang belajar dan bukan murid itu sendiri, terutama untuk anak di kelas rendah.

Kurikulum yang saat ini masih lebih mementingkan hafalan bagi anak didik ketimbang mengajari anak bagaimana cara berfikir kritis dan dapat melakukan analisis yang mendalam sebagaimana kurikulum di negara-negara maju yang lebih mementingkan berfikir kritis (critical thinking) dan yang lebih penting lagi mereka lebih menitik beratkan pada karakter anak yang mereka amalkan sehari-sehari seperti halnya sikap menghargai orang lain, memanfaatkan waktu dengan baik dan mampu antri.

Di kurikulum kita karakter tersebut baru tertulis di silabus saja tapi belum diamalkan dalam keseharian. Di Australia, misalnya anak SD di kelas rendah tidak diajarkan baca tulis (literacy dan numeracy)  tapi mereka fokus pada pembentukan karakter.

Pertanyaanya adalah, bagaimana pendidikan bisa berkualitas kalau kebijakan pemerintah sering berubah-rubah dengan tanpa arah. Sering jadi pameo bahkan beda pemerintah maka akan beda pula kebijakannya sehingga, kurikulum pun berubah-ubah, silabus dari berlembar-lembar menjadi satu lembar dan bahkan nama sekolah pun berganti-ganti dari SMA menjadi SMU dan kembali lagi ke SMA, sehingga kebijakan pendidikan kita tidak berkesinambungan.

Hasil pendidikan tidaklah bisa dilihat hasilnya hanya dalam satu atau dua tahun saja tapi membutuhkan waktu yang lama.  Oleh karena itu harus benar-benar berfikir secara matang dan baik serta mempunyai rencana jangka panjang yang tidak mudah untuk bertukar-tukar hanya untuk mengikuti popularitas rezim yang sedang berkuasa.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *