Surat Untuk Wali Nagari: Cabut Pengaduan, Minta Maaf atau Mengundurkan Diri

Icol Dianto

Fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat akhir-akhir ini, kisruh antara pihak pemerintahan dengan masyarakat, terkait bantuan sosial bagi warga yang terkena dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), menarik perhatian banyak pihak.

Kondisi ekonomi warga makin terpuruk, yang miskin semakin miskin, pengusaha makro dan kecil menjadi rentan miskin. Sungguh wabah pandemik Covid-19 ini mengguncang perekonomian masyarakat secara global.

Kondisi itu pula yang menyebabkan masyarakat sangat berharap uluran tangan pemerintah dan kelompok karitas lainnya. Bantuan keuangan dan pangan, meski sedikit namun sangat memberikan arti yang besar. Ketika masyarakat berada dalam pengharapan yang tinggi, lalu ada pihak yang berupaya “adikuasa” dalam menentukan bantuan. Tidak transparan, main catut data lama, apalagi tendensius bahwa penerima bantuan adalah mereka kerabat dan kroni-kroni pemegang kekuasaan atau orang-orang yang secara ekonomi masih tergolong mampu dibandingkan dengan warga yang tidak mendapatkan bantuan sosial itu.

Faktor-faktor itulah yang menyebabkan kerusuhan dan aksi protes muncul dari kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintahan. Aksi protes ini hamper terjadi merata di seluruh Indonesia.

Melirik pada kasus lokal di Kabupaten Pesisir Selatan, demo berjilid-jilid di Nagari Kambang Utara Kecamatan Lengayang, dan aksi anarkis di Kenagarian Rawang Gunung Malelo Kecamatan Sutera, adalah puncak ketidakpuasan warga dengan tindakan pemerintahannya dalam menangani pendistribusian bantuan social untuk warga terdampak Covid-19.

Tulisan ini hendak menyoroti kasus kesalahpahaman antara pemerintah nagari di Kenagarian Gantiang Mudik Selatan Surantih baru-baru ini. Sesuai judul tulisan ini bahwa, tutup kasus itu dan berdamai dengan masyarakat atau wali nagari mengundurkan diri karena tidak sanggup mengayomi, melayani dan mengadvokasi masyarakatnya.

Laporan Pengaduan

Pemerintah Nagari Gantiang Mudiak Selatan Surantih (GMSS) mengadukan (pengaduan) warganya ke pihak kepolisian setempat. Pengaduan tersebut terdaftar pada 12 Mei 2020 atas tindak pidana pengrusakan. Pelapornya adalah 10 orang perangkat wali nagari yang dipimpin oleh Sekretaris Nagari.

Atas pengaduan itu, telah dilakukan pemanggilan terhadap terlapor atas nama Qodri Candra dengan surat panggil B/21/V/2020/Sel-Str pada tanggal 13 Mei 2020. Surat pemanggilan terlapor untuk dimintai keterangan atau klarifikasi atas pengaduan itu.

Media mencatat sekitar 100-an lebih warga mendatangi Kantor Kepolisian Sektor Kecamatan Sutera itu, Kamis, 14 Mei 2020. Tujuannya adalah untuk mendampingi terlapor Qodri Candra dan meminta keadilan pihak kepolisian untuk meninjau kembali laporan pengaduan itu.

Masyarakat harus tenang

Masyarakat Nagari Gantiang Mudiak Selatan Surantih harus berkepala dingin dan berhati lapang. Tidak boleh gegabah dalam menghadapi persoalan. Tidak elok mendahulukan sentimen emosional namun tetap rasional. Kita saat ini dalam keadaan melaksanakan ibadah puasa. Jangankan dalam ibadah puasa, di hari-hari lainpun, Nabi sangat menganjurkan kita untuk tidak marah. Ditambah lagi kondisi Covid-19 makin bertambah saja baik secara provinsi maupun Nasional, maka berkumpul-kumpul dalam melakukan aksi hanya akan mengundang penyebaran Covid-19 saja.

Alternatif penyelesaian masalah

Terkait kasus ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan dalam status saya sebagai anak nagari Gantiang Mudik Selatan Surantih Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. Pertama, pihak pelapor mencabut laporan pengaduannya dan meminta maaf atas keterlanjurannya membawa kasus ini ke jalur hukum serta pulihkan nama baik para terlapor. Jika pelapor merasa tidak bisa mengondisikan situasi, pihak pelapor bisa meminta Kapolsek dan Danramil Kecamatan Sutera untuk memediasi. Masalah selesai. Apalagi pihak kepolisian telah membuka kran untuk perdamaian ini (bandasapuluah.com). Alhamdulillah, salah satu media memberitakan bahwa wali nagari secara sah telah mencabut laporan pengaduannya (tagar.id).

Kedua, pelapor bertahan dengan keegoisannya dan melanjutkan laporan pengaduan itu. Konsekuensi yang akan terjadi ada dua, yaitu apabila dalam perjalanan penyidikan kasus tidak ditemukan tindak pidana pengrusakan sebagaimana yang diadukan pelapor, maka pihak terlapor (Qodri Candra dan rekan-rekan terlapor) bisa melaporkan balik pihak perangkat nagari atas tuduhan telah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Jalan kedua ini memang rumit dan panjang.

Ketiga, jika masyarakat terus dibiarkan bergejolak maka ada baiknya wali nagari sebagai pucuk pimpinan di pemerintahan nagari diminta dengan segala hormat untuk mengundurkan diri. Pemerintah mestinya melayani masyarakat, melindungi dan mengadvokasi masyarakat. Wali Nagari dan perangkat-perangkatnya tidak boleh gegabah ingin memberikan efek jerah kepada warga. Menakuti-takuti warga dengan ancaman tindak pidana.

Ungkapan tidak mendidik, hindarilah

Ada beberapa ungkapan yang tidak perlu dilontarkan ke masyarakat. Apalagi kita hidup di era demokrasi, kemajuan pendidikan dan keterbukaan informasi. Pertama, ungkapan super power penguasa “siapa yang memprotes kebijakan saya, maka akan saya karungi”. Ungkapan bernada anti-kritik ini sungguh tidak elok dan tidak mendidik masyarakat.

Aksi protes dari masyarakat adalah lumrah dalam berdemokrasi. Apalagi tuntutan masyarakat hanyalah meminta transparansi pemerintah nagari. Menjadi pemimpin karena ada yang dipimpin. Kalau tidak siap memimpin, maka sebaiknya janganlan menjadi pemimpin. Karena rakyat yang dipimpin itu beragam pola pikir, watak, pendidikan, latar ekonomi dan kelas sosialnya serta jejaringnya.

Kedua, ungkapan “cadiak urang mudiak (Ampalu) hanya sampai jembatan Gantiang”. Ungkapan ini juga sering dilontarkan oleh kelas penguasa lokal dari kalangan pemerintahan dan kelompok orang kaya. Mereka mencoba mengukur dan menetapkan kepandaian warga pedalaman hanya sampai perbatasan daerah. Tidak baik mengukur dalamnya samudera, diantara yang awam ada yang pandai, di atas langit masih ada langit. Apalagi sejak tahun 2000-an, sudah banyak anak-anak petani yang menjadi sarjana di Gantiang Mudik Selatan Surantih. Mereka jebolan universitas dan perguruan tinggi ternama di Propinsi Sumatera Barat.

Ketiga, ungkapan “pariuk bareh kami (pihak penguasa) nan diungkik”. Ungkapan yang menyatakan ketidaksenangan para pemimpin untuk diketahui kinerjanya oleh masyarakat. Menjadi pemimpin berarti kerja yang berkaitan dengan orang yang dipimpin, bukanlah rahasia  pribadi. Ranah publik yang berhak masyarakat untuk mengetahui, jangan dianggap itu rahasia. Kecuali bagi pemimpin yang telah berniat untuk melakukan kecurangan dan penipuan terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Saran-saran

Wali Nagari dan perangkat Nagari harus bisa membendung amarah warga yang lebih besar. Tidak salahnya Wali Nagari berendah hati, bukan rendah diri. Pada awal mau mencalonkan diri menjadi kandidat Wali Nagari, yang bersangkutan berendah hati mendatangi kelompok-kelompok warga untuk meminta dukungan. Maka tidak ada salahnya saat ini, kembali rendah hati untuk meminta maaf kepada warga. Segera lakukan perdamaian dengan pihak terlapor dan warga yang sudah tersulut pula kemarahannya. Minta bantuan Bamus untuk mengundang para pihak. Katakan bahwa pengaduan sudah dicabut, sampaikan ucapan maaf dan pulihkan nama baik para terlapor. Para terlapor dan masyarakat demikian juga ada baiknya menerima proses damai itu dengan baik. Semoga proses damai berjalan lancar, pemerintahan Nagari kembali normal dan kita masyarakat Kenagarian Gantiang Mudik Selatan kembali rukun dan damai. *****

 

Penulis: Icol Dianto

Putra Asli Nagari Gantiang Mudiak Selatan Surantih Kecamatan Sutera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *