KAN Pelangai Bakal Kukuhkan Wiwit Tarjoni Gelar Adat Datuak Biso dari Kaum Melayu Koto Kaciak

 

PESSEL, KABARDAERAH.COM – Niniak Mamak Nagari Pelangai yang berlaraskan Koto Piliang menggelar sidang adat sako pusako dan sidang pleno terkait proses pengangkatan Datuak Biso kaum Melayu Koto Kaciak di Kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Minggu (17/7/2022).

Wiwit Tarjoni selaku penerima amanah gelar adat Datuak Biso menjelaskan, hal itu sehubungan dengan sudah semakin tuanya Angku Aswan Munir Dt Biso selaku niniak mamak kaum Melayu Koto Kaciak. Ibaratnya lurah lah dalam bukik lah tenggi, jauah tak taulangi, dakek indak takandano.

“Sebelumnya kami dari kaum Datuak Biso yang berkedudukan di Mandarahan Pelangai Kaciak, Kenagarian Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, telah melaksanakan musyawarah dan mufakat pada 18 Januari 2022, bahwa Mamak kami Angku Aswan Munir Dt Biso dengan dasar lurah lah dalam bukik lah tenggi, jauah tak taulangi dakek indak takandano, maka beliau dengan ikhlas menyerahkan gelar adat atau sako kepada kaum,” ujarnya menjelaskan.

Menurutnya, ketentuan menurut adat Hiduik Bakarilahan musyawarah dan mufakat yang dilaksanakan di Mandarahan kaum Datuak Biso turut dihadiri oleh Pucuak Melayu Ampek Nyinyiak yakni Nedi Putra Dt Garang, dan sepakat memutuskan untuk mengangkat dirinya menggantikan Angku Aswan Munir selaku Dt Biso yang nantinya menjadi kepala kaum untuk menjalankan roda adat dalam kaum Melayu Koto Kaciak.

“Ya, demikianlah kebulatan tekad kaum Datuak Biso dibuat dengan hati yang tulus tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kesepakatan tersebut juga ditandatangani bersama mamak dan anak kemenakan yang dapat dipertanggungjawabkan dikemudian hari,” katanya.

Sementara itu, Aswan Munir Dt Biso menceritakan sejarah ringkas kaum Datuak Biso Lubuak Cubadak Pelangai Kaciak, Nagari Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Menurutnya, sejarah itu didapat dari orang tua terdahulu berjenjang naiak, batanggo turun dari niniak kepada mamak, dari mamak kepada kemenakan, yakni niniak datang dari Muaro Labuah (Sungai Pagu).

Pada mulanya, beliau bermufakat dengan suku yang empat, yaitu Melayu, Panai, Kampai, Tigo Lareh. Isi mufakat tersebut yakni mencari nagari baru untuk membuat sawah dan ladang. Suku yang empat itu terus berjalan masing-masing membawa anak buah dan pengawal. Perjalanan yang ditempuh menuruni lurah nan dalam, rimba nan gadang, dan sampai pula meniti pematang nan panjang, dan akhirnya perjalanan mereka sampailah di Bukit Sikai Kayu Arang.

Kemudian dibuatlah tempat istirahat. Mereka tinggal disana beberapa waktu yang lama. Karena tempat itu merupakan tanah daratan yang bagus, maka mereka mulai bekerja keras menebas hutan rimba belantara dan manaruko sawah. Setelah sawah mulai membaik, beberapa orang dari mereka menetap disana. Dikarenakan tempat itu kurang luas, sejumlah dari mereka berangkat lagi ketempat yang lain yang lebih luas. Sawah yang ditinggalkan itu diberi nama Kampuang Akat.

“Dan sampai sekarang namanya tetap Kampuang Akat. Sebab, beliau-beliau dahulu tiba disana hari Akat atau hari Minggu,” ucap Aswan Munir.

Lebih lanjut diceritakan, selanjutnya suku nan empat terus berjalan dan akhirnya sampailah disebuah bukit. Dari atas bukit ini sangat luas pemandangan beliau, tampaklah oleh mereka dari sana Lagan, Punggasan, Air Haji, dan hingga kini masih ada nagari tersebut.

“Bukit ini, beliau-beliau bermufakat memberi nama Bukit Paninjauan. Sebab, sangat bagus meninjau tempat kiri dan kanan (kian kemari). Letaknya sebelah hilir atau sebelah barat Bukit Gadang,” katanya lagi.

Menurut cerita beliau-beliau terdahulu, lanjut Aswan Munir, berdiri di puncak bukit itu dan melihat sekeliling maka tampaklah dari situ padang yang luas, dan pasir air yang tercelangai (nyata) dalam nagari kita ini. Kemudian atas kesepakatan beliau bersama diberilah nama nagari ini Pelangai.

“Dari penglihatan yang lain-lain, maka nagari kita inilah yang disetujui oleh suku yang empat tadi untuk dijadikan perkampungan,” tuturnya.

Sementara itu, keputusan mufakat yakni akan menuruni lurah menuju tanah dataran yang terhampar luas dibawahnya menjadi tidak sejalan dan tidak searah lagi akhirnya mereka bercerai-berai. Namun, niniak mamak Datuak Biso kaum Melayu turun ke Kampung Anau atau Kampuang Pauh.

“Ibarat pepatah adat, Maniti Pematang Nan Panjang, Mandaki Bukik Nan Tinggi, Manuruni Lurah Nan Dalam, dengan maksud dan tujuan adalah untuk mengembangkan keturunan dan mencari tempat tinggal untuk anak kemenakan yang sudah berkembang. Maka dari Lubuak Cubadak pindah ke Mandarahan dan menetap disini sampai sekarang. Dan itulah yang dinamakan sampai sekarang Melayu Koto Kaciak,” ujarnya.

(Reporter: Efrizal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *