Politikus Kutu Loncat, Tukang Olah Politik, Kecewa Pemilu 2024

Ditulis Oleh  :  Labai Korok Piaman

 

Dengan belum adanya kejelasan sistim Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 ini membuat politikus kutu loncat dan tukang olah politik menjadi galau, tidak jelas apa yang akan dilakukan untuk mengatur jadi pemenang saat pencoblosan nanti.

Penulis perlu jelaskan apa Itu Politikus Kutu Loncat?. Berdasarkan rilis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui laman resminya menjelaskan, istilah “Politikus Kutu Loncat” dipahami sebagai sebutan bagi para politikus maupun pejabat publik yang berpindah dari parpol satu ke parpol lainnya.

Contoh politikus kutu loncat itu yaitu saat Pemilu 2004 politisi ini jadi anggota dewan lalu pindah ke Partai Golkar, Pemilu tahun 2009 pindah ke Partai Hanura, saat pencoblosan tahun 2014 pindah lagi ke PKB, ditahun 2023 ikut mendaftar sebagai calon anggota dewan ke Partai Gerindra, itu yang diartikan politikus kutu loncat oleh LIPI.

Alasan melakukan kutu loncat pun bermacam-macam, mulai dari sudah tidak loyalnya kepada parpol atau hendak menjadi dukungan suara. Sampai merasa tidak se idiologi dengan partai yang lama. Dan alasan lain yang dibuat-buat.

Fenomena politikus kutu loncat ini bukanlah suatu hal yang baru, atau lazim terjadi di era reformasi demokrasi. Bahkan, tidak sedikit para elite politik yang justru melupakan partai yang mengantarkannya menuju singgasana kekuasaan untuk berpindah ke perahu politik lain yang diprediksi lebih menjanjikan di masa yang akan datang.

Ahli hukum dan tata negara LIPI, Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, fenomena politikus kutu loncat yang kerap berpindah parpol menjadi problem besar di kancah perpolitikan Indonesia. Menurutnya, fenomena ini memang tidak bisa diikat oleh Undang-Undang karena menjadi urusan kontrak politik antara kader dengan parpol yang bersangkutan.

Penulis perlu jelaskan apa itu tukang oleh politik?. Tukang olah politik adalah individu atau lembaga yang akan membantu, dan atau memberikan jasanya kepada para calon-calon kontestan untuk meraih kemenangan saat Pemilu nanti.

Tukang olah politik ini bisa sebagai konsultan politik, bisa individu membantu mencarikan suara dalam bentu meningkatkan elektabilitas seorang calon.

Barang tentu semuanya tidak serta merta gratis tapi juga ada berkonsekwensi ada uang yang mengalir, ada logistik yang akan didapatkannya. Sehingga tukang olah bisa membantu para calon ikut pemilu menang ditahun 2024.

Sekarang politikus kutu loncat dan tukang olah politik dalam kebingungan menunggu keputusan sistim pemilu yang akan diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Politikus kutu loncat saat ini belum berani memasang baliho atau alat peraga kampanye didepan publik, walaupun mereka sudah mendaftar sebagai kontestan peserta pemilu.

Mengapa demikian karena jika saat ini dipasang tanda gambar sosialisasi, dana sudah keluar untuk kampanye, ternyat keputusan MK menetapkan sistim pemilihan umum dengan proporsional tertutup.

Berarti politikus kutu loncat tidak akan bisa menang dengan sistim proporsional tertutup tersebut, walaupun dana berlimpah, ketokohan ada, serta jaringan tukang olah politik banyak. Tetap politikus kutu loncat tidak bisa menang karena mereka akan diposisikan oleh kader partai, partai baru dengan nomor urut 6, 7 atau nomor urut sepatu.

Begitu juga dengan tukang olah politik, mereka tidak akan diuntung dengan sistim pemilihan umum proporsional tertutup karena para calon kontestan tidak akan mau memakai jasa konsultannya atau jasa olahnya.

Pada akhirnya dengan sistim pemilihan umum dengan proporsional tertutup tidak akan ada calon yang akan memakai jasa tukang olah. sehingga tukang olah politik tidak semakmur pemilu dengan sistim proporsional terbuka.

Secara pribadi Penulis mendukung dengan sistim pemilihan umum dengan proporsional terbuka sehingga politikus kutu loncat bisa berjaya di partai barunya dengan kadernya tidak ada secara idiologi.

Pengalaman politikus kutu loncat ini akan habis-habisan mengeluarkan instrumen untuk bisa menang seperti dana, pasilitas, logistik, dan banyak acara yang dibiayai.

Seandainya sistim pemilihan umum dengan proporsional terbuka maka tukang olah politik pun akan mendapatkan aliran dana yang berlimpah, pasilitaspun akan banyak. Jika ini terjadi secara otomatis distribusi kesejahteraan mengalir sampai bawah.

Apalagi politikus kutu loncat memenangkan pertarungan dan terpilih memakai instrumen dana dan logistik karena kaya raya, pengusaha. Otomatis semua aliran juga sampai ke masyarakat, keorganisasian masyarakat, yang pada akhirnya masyarakat pemilih, tukang olah politik dan partai politik juga akan mendapat dana.

 

Editor  :  Robbie

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *